JAKARTA – Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM) menemukan adanya ketidaksesuaian antara klaim Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dengan kondisi faktual di lapangan terkait penguasaan kembali lahan kelapa sawit.
Hingga 1 Oktober 2025, Satgas PKH mengklaim telah menguasai kembali kawasan hutan seluas 3.404.522,67 hektare (ha). Dari lahan tersebut, Satgas PKH telah menyerahkan 1.507.591,9 ha lahan kelapa sawit kepada PT Agrinas Palma Nusantara.
Ketika Satgas PKH mengumumkan keberhasilan “menguasai kembali” jutaan hektare lahan sawit yang diklaim Jaksa Agung bernilai Rp150 triliun dan telah dilaporkan kepada Presiden, publik tentu berasumsi bahwa negara benar-benar telah merebut kembali aset produktif yang besar nilainya.
Baca Juga: Satgas PKH Siap ‘Kuras’ Korporasi yang Sulap Hutan Jadi Lahan Sawit
Namun, data yang muncul dari Rapat kerja Komisi VI DPR RI bersama PT Agrinas Palma Nusantara pada tanggal 23 September 2025 justru menyingkap kenyataan yang berbeda. Dari total 833.413 ha lahan yang diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara dalam Tahap I-III, hanya 61% yang tertanam sawit, sementara 39% sisanya hanyalah lahan kosong.
“Temuan itu seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk meninjau kembali data yang dilaporkan Satgas PKH. Tidak semua lahan yang dikuasai kembali benar-benar berbentuk kebun sawit. Bahkan Agrinas Palma sendiri telah mengonfirmasi di hadapan DPR bahwa banyak data versi Satgas tidak akurat,” ujar Muhamad Zainal Arifin, Direktur PUSTAKA ALAM.
Berdasarkan Kajian PUSTAKA ALAM terhadap data Penyerahan Tahap IV dari Satgas PKH ke PT Agrinas Palma Nusantara, dari total luas lahan penguasaan kembali sebesar 674.178,44 ha, ada sebagian besar lahan merupakan lahan kosong yang tidak tertanam.
Baca Juga: Satgas PKH Kuasai Lahan Sawit 3,2 Juta Hektare
Contoh paling mencolok penguasaan kembali di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) adalah PT AKL, yang dari total lahan penguasaan kembali seluas 8.696,09 ha, secara mengejutkan hanya 2,33 ha yang tertanam. Kondisi serupa terjadi PT KHS dilakukan penguasaan kembali 1.357, 91 ha dengan luas yang tertanam hanya 15 ha.
Kemudian, ada PT ISA lahan yang dikuasai kembali 1.156,26 ha, akan tetapi yang tertanam 8,89 ha. Begitu juga di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), terdapat PT KSG dengan dilakukan penguasaan kembali 1.452,41 ha akan tetapi tertanam hanya 8,38 ha dan masih banyak perusahaan yang mengalami hal yang sama.
“Jika data ini dijadikan dasar laporan kepada Presiden, maka Presiden disesatkan oleh angka-angka yang tidak mencerminkan realitas lapangan. Negara tampak seolah merebut aset besar, padahal sebagian lahan yang diklaim hanyalah lahan kosong, semak, rawa bahkan kawasan High Conservation Value (HCV),” kata Zainal.
Menurut PUSTAKA ALAM, perbedaan angka ini membuka dua kemungkinan. Pertama, sebagian lahan yang diklaim Satgas PKH bukanlah kebun sawit aktif. Padahal Penjelasan Pasal 110B ayat (1) UU Cipta Kerja menegaskan bahwa luas pelanggaran hanya mencakup lahan yang benar-benar diubah fungsinya.
Baca Juga: Satgas PKH Serahkan Lahan 833.413 Hektare ke Agrinas
Artinya, lahan kosong tidak bisa dijadikan dasar penguasaan kembali. Fokus pemberian sanksi administratif hanya untuk kegiatan usaha yang telah terbangun.
Kedua, terdapat indikasi pembesaran data oleh Satgas PKH dalam memenuhi target kinerja. Lahan milik pihak lain atau lahan kosong dilakukan penguasaan kembali. Dalam beberapa berita acara penguasaan kembali, ditemukan pula perusahaan diminta menyerahkan lahan yang bukan miliknya.
“Itu pelanggaran terhadap asas nemo plus juris, yang berarti seseorang tidak bisa menyerahkan hak atas tanah yang bukan miliknya. Negara seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan asas hukum ini, bukan justru mengabaikannya demi pencapaian statistik,” tegas Zainal.
Selain itu, kajian PUSTAKA ALAM juga menemukan bahwa sebagian lahan penguasaan kembali oleh Satgas PKH justru berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang masih berlaku. Banyak dari HGU tersebut telah diterbitkan berdasarkan keputusan resmi Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Ada banyak temuan di mana lahan berstatus HGU ikut dilakukan penguasaan kembali. Padahal, selama hak tersebut belum dicabut sesuai prosedur, negara tidak bisa begitu saja merampas lahan yang sudah bersertifikat,” katanya.
Situasi ini, lanjut Zaenal, mengingatkan pada Bremen Tobacco Case tahun 1959, yang berawal dari nasionalisasi perusahaan tembakau Belanda di Sumatera Timur. “Pemerintah Indonesia saat itu digugat di Pengadilan Bremen, Jerman, karena dianggap melakukan pengambilalihan tanpa kompensasi dan melanggar prinsip prompt, effective, and adequate,” jelas Zainal.
Ketidakakuratan data Satgas PKH juga berdampak langsung terhadap besaran denda administratif yang dikenakan kepada perusahaan. Dalam suatu kasus, perusahaan yang seharusnya hanya dituduh melanggar seluas 2,33 ha justru dijatuhi denda untuk area seluas 8.696,09 ha.
Ironisnya, situasi serupa juga dapat menimpa Kementerian Kehutanan. Jika di dalam Surat Keputusan sanksi administratif yang diterbitkan, luas areal pelanggaran ditetapkan berdasarkan hasil verifikasi faktual yang justru lebih kecil dari klaim Satgas PKH, maka malah dituding melakukan korupsi tata kelola hutan dengan alasan dianggap mengurangi potensi penerimaan negara.
“Kita sudah sampai pada situasi absurd, di mana kebenaran data hanyalah versi Satgas. Jika lembaga lain menggunakan angka yang lebih kecil dari klaim Satgas, malah bisa dicap korupsi,” ungkap Zainal.
PUSTAKA ALAM memperingatkan bahwa angka-angka fantastis dalam data penguasaan kembali yang dibesar-besarkan ini dapat menyesatkan kebijakan nasional. Jika dijadikan dasar untuk perencanaan target CPO dan program B50, perhitungan aset negara dan BUMN maupun perhitungan target PNBP, maka kesalahan data akan menjelma menjadi kesalahan kebijakan.
“Negara harus berhati-hati, karena keputusan yang didasarkan pada data yang keliru dapat menimbulkan salah kelola kebijakan. Oleh karena itu, data yang disusun Satgas PKH maupun kinerja lembaganya perlu dievaluasi secara menyeluruh, agar setiap langkah penataan benar-benar mencerminkan keadilan, bukan sekadar angka untuk pencitraan keberhasilan,” tutup Zainal. (ANG)

