BANDUNG – Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) memproyeksikan nilai ekspor produk oleokimia Indonesia bisa mencapai USD54 miliar pada 2030 atau setara dengan Rp810 triliun (kurs Rp15.000/USD). Upaya tersebut bisa didorong jika hilirisasi sawit Indonesia bisa terus berkembang.
Sekretaris Jenderal Apolin Rapolo Hutabarat mengatakan kenaikan nilai ekspor oleokimia sendiri tidak terlepas dari permintaan beragam industri dari kosmetik, makanan-minuman hingga farmasi.
“Diperkirakan pasar oleokimia pada 2030 itu meningkat menjadi USD54 miliar dengan asumsi pertumbuhan 6% setiap tahun,” ujar Rapolo saat Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit di Bandung, Jawa Barat, Kamis (1/2/2024).
Rapolo menambahkan, nilai ekspor oleokimia tahun lalu mengalami penurunan karena anjloknya nilai komoditi dunia yakni sebesar USD3,5 miliar dengan volume diperkirakan 4,2 juta ton. Dibandingkan 2022 nilai ekspor oleochemical mencapai USD5,4 miliar dengan volume 4,2 juta ton.
“Memang secara keseluruhan nilai ekspor kita seluruh HS itu hanya USD31 miliar. Jadi turun semua. Negara tujuannya China, India, Uni Eropa dan lain lain,” ujar Rapolo.
Lebih lanjut, dia menuturkan pasar ekspor oleokimia sendiri terbesar ke kawasan Asia Pasifik yakni sebesar USD16 miliar, dan sisanya Uni Eropa dan Amerika. Produknya sendiri mayoritas faty acid, fatty alcohol dan sebagainya.
“Kalau di Eropa konsumennya yakni Jerman, Perancis, Italia, Inggris yang memang lebih menginginkan produk berkelanjutan,” jelasnya.
“Sebenarnya Indonesia harus melirik Afrika karena total populasinya 1,4 miliar, tapi GDP-nya rendah yaitu sekitar USD2.000 dibanding benua lain,” tambahnya.
Adapun tantangannya saat ini, ujar Rapolo, ada beberapa produk hilir sawit yang masih diabaikan oleh pelaku industri sawit Indonesia, salah satunya tocopherol dan betakaroten. Padahal pangsa pasarnya masing-masing sebesar USD1,3 miliar dan USD4,7 miliar. Angka itu, melebihi nilai ekspor oleokimia 15 HS yang ada selama ini.
“Tapi saat ini produsen oleokimia betakaroten dan tocopherol itu tak satupun perusahaan Indonesia, semua dari Eropa, China, Jepang dan Amerika. Global supply chain tocopherol ada 16 pemain dan tidak ada satupun dari Indonesia. Padahal, sumbernya dari Indonesia. Seharusnya BUMN farmasi kita yang masuk,” pungkas Rapolo. (SDR)