BALI – Undang-Undang Anti Deforestasi atau European Deforestation Regulation (EUDR) menjadi momok tersendiri bagi pelaku industri sawit di Indonesia. Sebagai produsen sawit terbesar di dunia, ekspor sawit Indonesia ke Benua Biru itu bisa terkendala dengan aturan tersebut.
Ini terjadi mengingat banyak produk sawit Indonesia yang belum bisa mematuhi (comply) dengan aturan-aturan dalam EUDR. Karena itulah pemerintah Indonesia bersama pelaku usaha berusaha melobi Parlemen Eropa untuk menunda penerapan aturan tersebut.
Baca Juga: GAPKI Desak Penerapan EUDR Diundur Hingga 2026
Lobi tersebut rupanya membuahkan hasil. Mulanya Parlemen Eropa telah menyepakati EUDR pada Juni 2023 dan seharusnya berlaku 30 Desember 2024, bakal diundur setahun.
“Memang kita lakukan lobi, namun mereka (Parlemen Eropa) sendiri tidak bisa menjelaskan sistem dalam implementasi benchmarking sebagaimana disyaratkan dalam EUDR,” kata Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa Andri Hadi pada acara 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC 2024) yang di Bali International Convention Center, The Westin Resort, Nusa Dua, Bali, Kamis (7/11/2024).
Andri Hadi mengatakan, sistem tersebut tidak hanya mendiskriminasi industri kelapa sawit saja, namun juga komoditas lainnya seperti kopi, kakao, kayu, dan karet. Menurut Andri Hadi pemberlakuan benchmarking ini berpotensi bermasalah.
Baca Juga: Indonesia Siapkan Sistem Pertahanan Sawit Hadapi EUDR
“Di negara sendiri, hal itu susah untuk dilakukan dengan sistem benchmarking yang sama. Sama dengan negara-negara lain, Indonesia itu juga mempunyai wilayah yang berbeda. Tidak bisa benchmarking yang sama dilakukan misalnya pada suatu kebun kopi di Sumatera dan kebun kopi di Nusa Tenggara Timur,” katanya.
Hadi mengatakan sebagai akibat benchmarking ini, suatu negara dikategorikan sebagai high risk dalam hal deforestasi ini. Maka konsekuensinya adalah kemungkinan negara-negara partner dagangnya di luar UE bisa ikut mengambil tindakan yang merugikan negara tersebut.
“Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan “one size fit all” (satu ukuran diberlakukan untuk semua). Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi UE tetap memaksakan pemberlakuannya dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda,” katanya. (SDR)