JAKARTA – Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Saat ini tercatat sekitar 16,3 juta hektar lahan kelapa sawit yang tersebar di 317 kabupaten dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia. Saat ini diperkirakan 16 juta masyarakat yang bergantung pada ekonomi kelapa sawit.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan besarnya potensi sawit ini harus dikelola dengan baik. Pasalnya bukan hanya soal energi, kelapa sawit juga menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia. Untuk itu dibutuhkan percepatan peremajaan kelapa sawit rakyat untuk menjaga keberlanjutan produksi.
“Karena sawit adalah punya kita dan kebanggaan kita. Kita harus bersama-sama berupaya untuk mengedepankan sumber ekonomi rakyat. Sawit harus kita bela, bukan hanya soal diekspor lebih besar, tapi di dalam negeri sendiri harus dibela karena ada 16,2 juta rakyat yang bergantung dari sawit,” kata Musdalifah dalam paparannya di seminar nasional yang diselenggarakan oleh majalah SAWITKITA dengan tajuk Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan, di Grand Sahid Jaya Hotel Jakarta, Selasa (8/8).
Dia melanjutkan, luasnya sebaran lahan dan banyaknya rakyat yang bergantung pada ekonomi kelapa sawit ini harus terus dikelola sehingga tetap berkelanjutan. Apalagi menghadapi banyaknya tantangan, termasuk stigma negatif dari global tentang minyak sawit Indonesia, salah satunya terkait deforestasi.
Musdalifah tegas menyatakan Indonesia sejak 2011 sudah melakukan moratorium untuk melakukan deforestasi atau pembukaan lahan hutan baru untuk komoditas, termasuk untuk perkebunan sawit. Ia menilai ekosistem akan berubah dan muncul ekosistem yang baru. Indonesia harus terus beradaptasi dengan ekosistem yang baru tanpa harus merusak.
“Sawit tidak merusak. Bahkan negara lain terus mengklaim negara Indonesia merusak ekosistem lingkungan karena sawit. Sementara negara lain apakah tidak merusak ekosistemnya? Negara lain bisa merdeka dengan sumber daya alamnya, tapi mereka mengganggu kita yang punya sumber daya alam dan ekonomi dari alam, yang sedang berusaha menjaga ekonomi rakyat. Sementara kita berupaya menghasilkan produk energi berkelanjutan,” katanya.
Ia memaklumi jika negara lain punya ketentuan atau regulasi tersendiri tentang lingkungan dan komoditas pangan ekspor. Seperti halnya EUDR dan regulasi 27 negara besar tidak bisa disalahkan karena setiap negara punya ketentuan masing-masing. Demikian juga di Indonesia ada tujuh komoditas yang berupaya dikembangkan untuk menjadi ekspor dan mendukung ekonomi nasional, di antaranya kakao, karet, kopi hingga kelapa sawit semua berujung ke sawit.
Musdalifah menekankan bahwa pemerintah Indonesia tetap berupaya semua komoditas tetap memperhatikan lingkungan dengan tidak melakukan deforestasi. Di antaranya dengan melakukan geo tagging atau pendataan lahan potensial. Namun sistem tersebut tetap menjadi rahasia kepemilikan negara sehingga tidak boleh untuk dibagikan ke semua negara.
“Indonesia berupaya agar perdagangan sawit tidak bertentangan dengan kebijakan Eropa (EU). Bahkan, pemerintah berupaya tidak lakukan deforestasi, sudah ada moratorium pengalihfungsian hutan primer dan gambut sejak 2011. Sudah tidak boleh lagi deforestasi. Kita berupaya untuk tidak lakukan deforestasi untuk menunjang komoditas global,” tekannya.
Terkait komoditas sawit, saat ini menurut Musdalifah sudah ada 24 juta ton yang telah memiliki sertifikasi ISPO. Sementara, ada juga 9 juta ton yang sudah mengantongi RSPO. (FRK)