JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah mendaftarkan permohonan izin pelepasan kawasan hutan untuk 700.000 hektare (ha) kebun sawit. Kebun sawit seluas 700.000 ha tersebut berasal dari 380 perusahaan yang dianggap oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berada dalam kawasan hutan.
“Anggota Gapki sudah semuanya mengajukan 700.000 ha yang dianggap masuk kawasan hutan,” kata Ketua Umum GAPKI Eddy Martono di sela acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Nusa Dua, Bali, Jumat (3/11/2023).
Dari 700.000 ha kebun sawit yang didaftarkan, Eddy menyebut tidak semuanya sudah mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU). Sebagian baru dalam proses pengajuan HGU, dan sebagian lainnya sudah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP).
Eddy menegaskan bahwa persoalan utama saat ini adalah ketidaksinkronan antara perizinan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Menurutnya, ATR/BPN telah mengklaim bahwa produk izin mereka berupa HGU adalah resmi. Namun, klaim KLHK justru sebaliknya menetapkan kebun sawit mereka dalam kawasan hutan.
Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah mengebut pembenahan perkebunan sawit, terutama yang berada dalam kawasan hutan yang luasnya diperkirakan mencapai 3,37 juta ha.
Adapun, penyelesaian status perkebunan sawit di kawasan hutan dibagi menjadi dua tipologi yakni dalam pasal 110 A dan pasal 110 B Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 110 A dikhususkan untuk kebun sawit di dalam kawasan hutan yang sudah mengantongi izin usaha, sedangkan pasal 110 B diperuntukan bagi kebun sawit yang sudah beroperasi di kawasan hutan tanpa mengantongi izin.
Para pengusaha berharap segera ada keputusan Satgas Sawit ihwal sengkarut data dan perizinan kebun mereka di lapangan. “Kita walaupun sudah ada HGU, tapi tetap mengajukan. Jadi ini tinggal menunggu saja,” kata Eddy Martono.
Petani Tak Mampu Bayar Denda
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Seluruh Indonesia (Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung meyakini bahwa petani yang kebun sawitnya masuk dalam kawasan hutan tidak akan mampu membayar denda administratif yang akan dikenakan dalam pasal 110 A maupun 110 B.
Menurutnya, ada sekitar 5,85% dari 3,3 juta ha luas kebun sawit dalam kawasan hutan merupakan milik petani rakyat. “Ya cukup lumayan dan dipastikan kami tidak akan mampu membayar,” ujar Gulat.
Gulat pun blak-blakan, pengenaan sanksi dalam pasal 110 B berisiko memangkas produksi minyak kelapa sawit hingga 10 juta ton setiap tahunnya. Bahkan, aturan itu berisiko menimbulkan kerusuhan di sentra-sentra perkebunan sawit.
Diketahui, sanksi 110 B menetapkan denda yang wajib dibayar pelaku usaha sawit kepada negara. Kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan produksi hanya akan diberikan kesempatan beroperasi selama 1 kali daur atau sekitar 25 tahun.
Selanjutnya lahan harus dikembalikan kepada negara, sedangkan untuk kebun yang berada dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi wajib mengembalikan kawasan kebun kepada negara segera setelah membayar denda dan biaya pemulihan hutan.
“Kita akan kehilangan uang Rp125 triliun-Rp145 triliun per tahun dari perputaran hulu-hilir sawit. Negara akan kehilangan ratusan triliun dari pajak-pajak, BK (bea keluar) dan pungutan ekspor (PE). Dan yang paling berbahaya adalah dampak sosial-ekonomi,” kata Gulat. (SDR)