JAKARTA – Semua unsur pemerintah bertekad untuk mempercepat Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Maklum saja, sejak dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 2016 silam, program yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) ini tak pernah tercapai.
Pemerintah menargetkan setiap tahunnya Program PSR ini bisa mencapai 180.000 hektare (ha). Namun nyatanya, realisasinya rata-rata hanya 50.000 ha saja. Tumpang tindih lahan sawit yang masuk kawasan hutan menjadi salah satu sebab rendahnya capaian Program PSR.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui program replanting sawit ini masih belum berjalan maksimal. Secara total realisasi program replanting sawit ini baru mencapai 331.007 ha sejak program ini diluncurkan.
Padahal, peremajaan sawit rakyat memiliki target luasan 180.000 ha setiap tahunnya di 21 provinsi sentra penghasil kelapa sawit. “Dan ini kurang dari 30% dari target yang waktu itu dicanangkan Presiden sebesar 180.000 ha per tahun,” kata Menko Airlangga.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan masalah tumpang tindih lahan yang masuk di kawasan hutan akan diselesaikan melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Setelah dibebaskan, maka pekebun dapat mengajukan persyaratan PSR dan mendapatkan pendanaan dari BPDPKS. “Perkebunan kelapa sawit rakyat yang berada di kawasan hutan akan diselesaiakan dalam program TORA dan telah disepakati bisa ikut serta program peremajaan sawit rakyat dengan dukungan dana BPDPKS,” kata Eddy dalam Rakor Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan, beberapa waktu yang lalu.
Menurutnya, langkah ini diambil dalam mempercepat pencapaian target Program PSR seluas 180.000 ha per tahun. Upaya lain yang dilakukan pemerintah yaitu penyederhanaan persyaratan pengajuan program PSR melalui revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 3 Tahun 2022.
“Dengan penyempurnaan Permentan No 3/2022 jangka waktu untuk penyelesaian pemberian perizinan dan persetujuan peremajaan sawit rakyat bisa dipercepat hanya 15 hari saja,” jelas Eddy.
Terakhir, pemerintah memutuskan untuk menaikkan pendanaan peremajaan sawit rakyat menjadi Rp 60 juta per ha dari sebelumnya hanya Rp30 juta per ha. Eddy mengakui kecilnya pendanaan PSR menjadi kendala pekebun enggan melaksanakan program itu.
Pasalnya dengan anggaran Rp30 juta yang diberikan BPDPKS tidak bisa menutup seluruh biaya peremajaan sawit sampai sawit itu kembali menghasilkan. “Pendanaan Program PSR yang saat ini ditetapkan sebesar Rp30 juta hanya cukup memberikan dukungan peremajaan sampai bibit ditanam,” jelas Eddy.
Kebijakan menaikkan dana ini membuktikan pemerintah mendengarkan suara dan menjawab kegalauan pekebun. Tentunya, keputusan ini berdasarkan hasil kajian akademis dan komunikasi langsung dengan para pekebun sawit.
Menurutnya para petani sawit yang mendapatkan bantuan program PSR kesulitan bila bantuan hanya Rp30 juta per ha. Biaya itu hanya cukup untuk digunakan operasional selama setahun saja, sementara itu sawit baru bisa dipanen hasilnya selama 4 tahun.
Dengan penambahan dana bantuan ini juga diharapkan petani bisa mendapatkan tambahan biaya hidup termasuk untuk modal melakukan penanaman tanaman sela sambil menunggu hasil sawit.
Eddy Abdurrachman mengatakan Program PSR merupakan inisiatif penting yang bertujuan meningkatkan produktivitas perkebunan milik petani kecil. “Tujuan utama program ini adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kecil, sambil memanfaatkan sekitar 2 juta ha lahan perkebunan yang potensial,” kata Eddy Abdurrachman.
Ia mengemukakan program ini telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dan dana sebesar Rp8,5 triliun telah didistribusikan kepada lebih dari 306.000 ha lahan dan memberikan manfaat kepada lebih dari 134.000 petani kecil.
“Melalui program PSR ini lebih dari 200.000 ha lahan sudah ditanami kembali, dan lebih dari 100.000 ha dalam proses pembersihan lahan. Program ini tidak hanya mengatasi kesenjangan finansial, tapi juga mempermudah akses petani ke pasar,” ujarnya.
Dia juga menyampaikan bahwa kerja sama dengan berbagai pemangku kebijakan, seperti kementerian, pemerintah daerah, koperasi, dan perusahaan swasta menjadi bagian penting dalam pelaksanaan program ini.
“Keberlanjutan program ini menjadi hal yang mendesak. Peserta program diimbau untuk memperoleh sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada saat panen pertama kali,” kata Eddy lagi.
Solusi Tepat
Menanggapi soal peningkatan dana PSR, Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) Andi Nur Alam Syah mengatakan bahwa hal ini dapat menjadi solusi tepat untuk menenangkan hati para pekebun kelapa sawit. Sebab, mereka saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan dan dinamika akselerasi pencapaian target PSR.
“Pemerintah tentu hadir dan terus cari solusi tepat guna demi memperkuat industri sawit dan kebun rakyat. Ini tak bisa sendiri, harus dilakukan bersama-sama, bersinergi, demi tingkatkan perkelapasawitan Indonesia dan kesejahteraan pekebun sawit ke depannya,” tutur Andi.
Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Disebutkan bahwa badan pengelola menetapkan prioritas penggunaan dana dengan memperhatikan program pemerintah dan kebijakan komite pengarah.
“Semoga, ke depannya realisasi PSR semakin meningkat. Pemerintah hadir untuk pekebun, terus berupaya melindungi, mempermudah dan memperlancar, bukan menghambat,” ujarnya.
“Tentu tak dapat dipungkiri bahwa implementasinya menemui banyak tantangan. Untuk itu, semua pihak perlu bekerjasama, bersinergi, dan berkolaborasi secara terintegrasi dengan berdasarkan asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan (3K). Harapannya, penambahan dana bantuan ini bisa mengurangi beban pembiayaan pekebun sampai tanaman sawit menghasilkan,” lanjutnya.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspekpir) Setiyono menyambut baik kebijakan pemerintah menaikkan besaran pemberian bantuan dana PSR. Ia berpendapat bahwa hal ini merupakan wujud nyata pemerintah hadir bagi pekebun rakyat.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung juga turut memberikan tanggapannya. Menurutnya, hal ini merupakan kabar gembira bagi para pekebun.
“Dengan ditambahnya dana PSR pastinya dapat bermanfaat secara signifikan bagi para pekebun rakyat. Penambahan bantuan dana PSR ini harus dilakukan sebagai bentuk keberpihakan kepada pekebun rakyat, demi memperkuat produksi dan produktivitas tanaman kelapa sawit rakyat guna menjaga luasan lahan dan keberlanjutan usaha perkebunan kelapa sawit rakyat,” ujar Gulat.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) juga mendukung kebijakan pemerintah yang menaikkan dana PSR ini. Sebelumnya, keberadaan program PSR telah menjadi bagian dari kemajuan sawit rakyat.
Dukungan Pemerintah dibutuhkan, guna membangun keadilan bagi rakyat Indonesia untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan petani sawit skala kecil. “Melalui program PSR, keberadaan perkebunan kelapa sawit milik petani menjadi roda ekonomi rakyat di perdesaan,” kata Ketua Umum SPKS Sabarudin.
Selain itu, kebijakan legalitas lahan petani kelapa sawit di Indonesia juga harus mendapat perhatian serius dari pemerintah karena legalitas lahan masih mendapat banyak kendala.
Legalitas lahan hingga saat ini, masih menjadi momok menakutkan bagi petani kelapa sawit di Indonesia. Sebab itu, koordinasi Menko Perekonomian dan Menteri ATR/BPN menjadi harapan baru agar mereka memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). (SDR)