JAKARTA – Presiden terpilih periode 2024—2029 Prabowo Subianto mengatakan Indonesia bakal makin memacu produksi solar dari minyak kelapa sawit alias biodiesel dalam masa pemerintahannya. Kebijakan ini untuk menekan nilai impor dan mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%.
Dalam kaitan itu, dia juga menyoroti nilai impor solar Indonesia menembus USD20 miliar atau setara dengan Rp320,5 triliun (asumsi kurs Rp16.025) per tahun.
“Kami ingin memproduksi solar dari minyak sawit dan ini akan menjadi pendorong pertumbuhan yang sangat kuat. Anda tahu? Kami mengimpor USD20 miliar setiap tahun untuk minyak solar. Jadi, bisakah Anda bayangkan penghematan yang akan kita dapatkan ketika kita beralih ke biofuel?,” ujar Prabowo kepada Bloomberg dalam Qatar Economic Forum 2024, dikutip Kamis (16/5/2024).
Prabowo menilai penghematan yang berasal dari produksi biodiesel di dalam negeri bakal menjadi salah satu strategi untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan sebesar 8% pada 2—3 tahun pertama masa pemerintahannya.
Adapun, program tersebut juga bakal berjalan seiring dengan upaya Prabowo untuk menciptakan ketahanan pangan di Indonesia.
Dia mengamini misi penghiliran industri juga menjadi salah satu strategi untuk mencapai pertumbuhan 8% tersebut. Namun, menurutnya, penghiliran bakal memakan waktu hingga beberapa tahun ke depan.
Dengan demikian, pada 1—2 tahun awal pemerintahannya, Prabowo membidik pertumbuhan dari kebijakan untuk ketahanan pangan dan ketahanan energi.
“Hilirisasinya akan memakan waktu beberapa tahun. Apa yang akan menjadi pendorong pertumbuhan pada tahun-tahun pertama adalah konsentrasi pada pertanian, produksi pangan, distribusi makanan dan energi,” ujarnya.
Gerus Ekspor
Di sisi lain, kalangan pengusaha menilai program biodiesel B50 atau bauran Solar dengan 50% bahan bakar nabati yang digadang-gadang oleh calon presiden terpilih, Prabowo Subianto, dinilai akan makin menggerus ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya.
Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), berkaca dari program mandatori B30 yang ditingkatkan menjadi B35 untuk digunakan masyarakat luas, ekspor CPO makin tergerus lantaran permintaan untuk biodiesel perlahan menggeser serapan untuk pangan maupun pasar ekspor. Gapki lantas menganalogikan transisi menuju ke B40, bahkan B50, bakal menemui aral serupa.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan kebutuhan CPO untuk biodiesel B40 saja bakal mencapai 14 juta ton/tahun, sedangkan untuk sektor pangan sekitar 11 juta ton/tahun. Dengan demikian, kebutuhan CPO domestik akan mencapai sekitar 25 juta ton/tahun.
“Produksi CPO kita itu sekitar 50 juta ton/tahun. Artinya, ekspor kita itu maksimum di angka 32 juta ton/tahun, sedangkan stok malah bisa berkurang,” ujar Eddy.
“Kalau terjadi kekurangan pasokan (CPO), maka akan terjadi kenaikan harga (minyak nabati) di dunia. Harga di dunia naik termasuk minyak kelapa sawit, harga dalam negeri juga naik. Jangan sampai kebijakan (kenaikan mandatori biodiesel) ini tidak kondusif lagi (bagi industri CPO Indonesia),” sambungnya.
Sebagai informasi, komposisi B35 terdiri dari 35% bahan bakar nabati (BBN) dan 65% solar. B35 sendiri mulai bisa digunakan masyarakat umum per 1 Februari 2023, dengan alokasi kebutuhan sebesar 13 juta kl/tahun. Sementara itu, untuk penaikan mandatori menjadi B40, dibutuhkan produksi biodiesel sebanyak 15 juta kl/tahun.
Adapun, target untuk menaikkan mandatori B40 menjadi B50 bermula dari janji kampanye presiden terpilih Prabowo Subianto yang menginginkan Indonesia bisa swasembada energi melalui pengembangan produk biodiesel dan bioavtur berbasis sawit, serta bioetanol berbasis tebu dan singkong, berikut sumber energi hijau lainnya.
Prabowo pun menargetkan pada 2029 Indonesia dapat melakukan program B50 dan bioetanol E10. Menurut catatan Gapki, realisasi produksi CPO per Februari 2024 mencapai 3,88 juta ton, terkontraksi 8,24% dari bulan sebelumnya atau secara month to month (mtm), tetapi naik 4,38% dari Februari 2023 atau secara year on year (yoy).
“Konsumsi juga terjadi penurunan 4,72% (mtm menjadi 1,84 juta ton), tetapi secara yoy positif 2,57%,” ujar Eddy. Di sisi lain, volume ekspor CPO pada bulan tersebut mencapai 1,80 juta ton alias mengalami penurunan cukup drastis sebesar 26,48% mtm dan 2,68% yoy. (ANG)