JAKARTA – Saya selaku Anggota Dewan Pakar Sawit, justru berharap agar ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) distop total. Agar yang diekspor produk turunannya dari CPO, minimal minyak makan merah (red palm oil/RPO) lah. Agar tercipta lapangan kerja banyak. Indeks kompleksitas ekonomi Indonesia naik.
Karena Indonesia masih kekurangan lapangan kerja. Jumlah pengangguran terbuka 7,9 juta (BPS). Jika dihilirisasi di dalam negeri akan dapat nilai tambah besar sekali. Saat ini, eranya hilirisasi, nuansa inovasi.
Itulah pandangan utama saya, saat dua hari lalu ada empat orang wartawan datang ke rumah. Minta waktu diskusi. Fokusnya pada keresahan ekspor CPO turun dan devisa berkurang karena serapan domestik naik 35,6%.
Harusnya serapan domestik minimal 65%, agar kita bisa jadi penentu atau setidaknya jadi kontrol harga CPO pasar global. Ini sangat penting bagi Indonesia, menyangkut stabilitas nasional dan daya tawar ke kiprah kita di tengah masyarakat dunia.
Ingat, tahun 2012 kita pernah membuat Malaysia bangkrut massal pada bidang refinery minyak sawit. Karena sebelumnya hanya disedot Malaysia. Sejak menjamur refinery di Indonesia, lalu Malaysia kurang barang baku CPO. Pada tutup massal.
Ilmu hikmahnya, ternyata kita bisa. Sekali lagi, kita bisa. Bukan Malaysia saja yang bisa. Asal mau saja. Toh invensi dari sawit sudah 189 produk turunannya. Apalagi ekspor CPO kita hanya 7% saja dari totalnya 49 juta ton CPO/tahun. Atau setara 3,5 juta ton/tahun.
Kadang kita tanpa sadar, bahwa pabrik industri hilir sawit di banyak negara maju sesungguhnya sebagian besar juga milik orang Indonesia. Misal pabrik kosmetik, pangan dan lainnya. Yang jadi penanaman modal asing (PMA) di negara lain, tapi kebun sawitnya di lahan Indonesia.
Hendaknya bangunlah “kecintaan pekat” kepada Indonesia. Agar industri hilir inovasi sawit, dibangun di Indonesia juga. Jika ini bisa realisasi, maka saya acungkan jempol kiri kanan. Hanya kita yang memajukan bangsa kita, tiada mungkin berharap dari bangsa lain.
Topik lain lagi, rencana hingga B40. Ini kan bagus sekali. Karena menghemat devisa hanya untuk impor solar fosil yang tidak ramah lingkungan dan tidak terbarukan. Dengan begitu meminimalkan ekspor bahan mentah (CPO). Kita rugi besar jika ekspornya hanya CPO saja.
Begitu juga terhadap PKS (Pabrik Kelapa Sawit) Komersil tanpa kebun. Ini juga bagus sekali, membuat kepastian pasar, off taker-nya. Makin bagus jika PKS-nya milik koperasi petani sawit. Harusnya pembuat kebijakan “tanggap” agar terbentuk pola itu. Plus didukung oleh perbankan.
Kalau bisa PKS Komersil dibangun di mana-mana agar petani makin banyak pilihannya. Agar sesama PKS lomba harga dan pelayanan terbaik ke petani selaku pemilik TBS bahan baku pabrik mereka. Orang Jawa bilang, wis diujo kok podo ora rumongso/selama ini sudah dilebihkan kok pada tidak merasa.
Hal sawit petani harus ISPO, tahun 2025. Sesuai Surat Edaran (SE) Ditjenbun Kementan. Pandangan saya, Pak Dirjenbun Kementan ini mimpi di siang bolong kali ya. Sadar tidak ada 1,8 juta hektare (ha) sawit petani masih bermasalah dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Ingat, Pejabat Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementan digaji dengan APBN pajak rakyat dan Lembaga Ditjenbun Kementan itu ada untuk “membina” petani perkebunan agar makmur sejahtera. Bukan “membinasakan”. Karena SE tersebut sama artinya agar petani tanpa punya pasar tahun 2025. Ini kebijakan ekstrem sekali. Harus dicabut.
Ilmu hikmahnya, tahun 2012 Indonesia bisa menggoyang industri refinery Malaysia, tutup semua. Mestinya bisa di ranah global “Nolkan Ekspor CPO”. Agar di Indonesia paling hilir inovatif, nilai tambah ekonomi tinggi meningkatkan pendapatan per kapita Indonesia. Paralel agar petani sejahtera, meminimalkan gini rasio kesenjangan sosial kita. (Wayan Supadno/praktisi pertanian)