JAKARTA – Presiden terpilih Prabowo Subianto, berulang kali dan di berbagai kesempatan mengatakan bahwa sawit akan diperhatikan dengan serius ke depannya. Karena sawit salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia.
Saya kira sangat logis pernyataan tersebut. Karena selama ini kontribusi produk domestik bruto (PDB) sawit sekitar 4% dari PDB Nasional yang meroket terus hingga USD1,7 triliun setara Rp25.000 triliun (2023).
Padahal belum optimal hilirisasinya. Masih banyak ekspor produk turunan dangkal saja, refinery palm oil (RPO) dan crude palm oil (CPO) sebanyak 34 juta ton/tahun. Hingga cetak devisa pernah Rp635 triliun/tahun. Luar biasa.
Baca Juga: Lembaga Ini Sebar Ratusan Miliar Beasiswa, Kuotanya 3.000 Orang
Karena Indonesia pemilik sawit terluas di dunia 16,38 juta hektare (ha), produsen CPO terbanyak di dunia 52 juta ton/tahun, produsen PKO (palm kernel oil) 5,6 juta ton/tahun. Sekaligus sebagai negara konsumen sawit terbesar.
Hilirisasi sawit
Apalagi Presiden terpilih Prabowo Subianto menargetkan bahwa awal 2025 harus bisa menghilirisasi sawit jadi B50 dan bioavtur, setara akan butuh 26 juta ton/tahun. Ini akan sama artinya menciptakan pasar baru untuk CPO dan PKO dalam negeri.
Implikasinya harga sawit akan naik karena permintaan tambah besar, produksi relatif tetap. Akibat moratorium dan banyak sawit tua gagal diremajakan karena disengketakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Peta ke depan
Masalah dunia ke depan yang diingatkan oleh PBB adalah air, energi dan pangan. Ketiganya saling korelatif, terkait dan terikat. Prabowo Subianto juga berkomitmen agar berdaulat energi dan pangan. Ini juga terukur logis.
Baca Juga: Biar Riset Sawit Aplikatif, Ini yang Dilakukan BPDPKS
Jika B80 dan Bioavtur dijalankan. Maka tiada lagi ekspor sawit dan turunannya. Karena semua produk sawit habis hanya untuk kebutuhan dalam negeri jadi pangan, energi, kosmetik, farmasi dan lainnya. Artinya devisa dari sawit akan tiada lagi.
Dana sawit beredar
Jika optimalisasi sawit jadi BBN (bahan bakar nabati), CPO jadi diesel dan bensin. PKO jadi bioavtur. Maka akan berpotensi hemat devisa tidak impor energi fosil minimal Rp400 triliun/tahun, karena beredar di masyarakat dalam negeri.
Akan berdiri banyak pabrik turunan sawit. Ini akan menciptakan lapangan kerja dalam jumlah massal. Saat ini saja petani sawit ada 1,8 juta keluarga dengan luas 6,8 juta ha. Serapan tenaga kerja milik perusahaan di kebun dan pabrik 17,8 juta jiwa.
Peluang dan ancaman sawit
Uni Eropa gagal melakukan kampanye hitam sawit. Tidak seperti tahun 1995 terhadap kelapa, karena kita suka diadu domba jadinya kelapa jaman itu jadi korban sehingga ditebangi. Sekalipun masuk EUDR, pelarangan dagang kakao, kopi, karet, sapi dan sawit.
Peluang terbesar sawit mendatang, beberapa tahun terakhir “animo kecintaan” anak muda kepada sawit meroket tajam. Karena pada sadar ulah Uni Eropa hanya karena takut kedelai dan bunga matahari komoditas andalannya kalah di pasar global.
Peluang belum digarap
Tankos (tandan kosong) rendemen 23% dari total TBS 265 juta ton/tahun setara 60 juta ton/tahun. Pelepahnya 1,1 miliar ton/tahun. Keduanya selama ini terabaikan. Padahal bisa jadi wood pellet pengganti batu bara di PLTU agar terbarukan ramah lingkungan.
Bungkil sawit, produk samping PKO. Dominan diekspor jadi bahan baku pabrik pakan ternak di Australia, Selandia Baru dan lainnya. Proteinnya 18%. Padahal 3% dari TBS 265 juta ton setara 8 juta ton/tahun. Aneh. Harusnya distop ekspornya buat swasembada sapi.
Dari ulasan di atas betapa kita selama ini terbukti belum inovatif di ruas hilir. Harus dihilirisasi di dalam negeri, akan sangat lucu jika kita terus masih bangga jadi vendor bahan mentah pabrik-pabrik di banyak negara maju. Seolah kita puas dengan laba recehan saja.
Implikasinya, mereka yang menikmati nilai tambah yang teramat besar. Pendapatan per kapitanya berkali lipatnya Indonesia. Solusinya bangun manusia pebisnis inovatifnya, agar jadi investor manufaktur industri ruas hilir nuansa inovasi. Tak ubahnya kisah Korsel, Taiwan, RRC dan lainnya. (Wayan Supadno/Praktisi Pertanian)