JAKARTA – Perkebunan dan industri kelapa sawit tidak hanya menjadi sektor ekonomi pendulang devisa dan penyerap tenaga kerja terbesar. Lebih dari itu, sektor kelapa sawit menjadi sektor ekonomi strategis untuk mewujudkan Indonesia mencapai kemandirian pangan dan energi.
“Dan upaya mencapai kemandirian pangan serta energi tersebut dicapai melalui sebuah tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan, dari hulu sampai hilir,” kata Eddy Abdurrachman, Direktur Utama BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), kepada SawitKita, Senin (14/10).
Baca Juga: BPDPKS Perkuat dan Perluas Riset Sawit Hilir
Kata Eddy, menyongsong 10 tahun berdirinya BPDPKS, peran lembaga pemerintah ini semakin nyata dalam mendukung kemandirian pangan dan energi tersebut. Kemandirian pangan dicapai dengan memberikan peran yang optimal agar program peremajaan sawit rakyat berjalan lancar dan sesuai target. Sehingga kontribusi produksi minyak sawit dari tandan buah segar (TBS) petani bisa setara dengan kontribusi produksi minyak sawit dari buah yang dihasilkan perkebunan besar swasta dan negara.
“Di sisi lain, program mandatori biodiesel akan mengurangi ketergantungan Indonesia kepada impor minyak mentah,” kata Eddy.
Program mandatori biodiesel merupakan konsepsi nyata dari implementasi hilirisasi produk kelapa sawit. Kebijakan biodiesel dimulai sejak 2009 dengan pembiayaan APBN, lalu sejak 2015 melalui pembiayaan BPDPKS.
Industri sawit Indonesia, kata Eddy, dikelola dengan b menerapkan prinsip keberlanjutan. “Kita sudah memperkenalkan ISPO sejak tahun 2011 dan kita akan memperbaharui lagi yang sebelumnya sertifikat keberlanjutan itu di hulu, nanti akan sampai ke hilir,” kata Eddy.
Baca Juga: Ini Dia Sembilan Jenis Bantuan Sarpras bagi Petani Sawit
Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia saat ini tengah berjuang untuk menentang Undang-Undang (UU) Antideforestrasi Uni Eropa (EUDR) tersebut. Dirinya juga mengaku sudah mendengar kabar baik berupa Komisi Uni Eropa yang menunda pemberlakuan UU tersebut selama satu tahun walaupun pihaknya saat ini juga tengah menunggu keputusan resmi.
Tanpa EUDR, sebutnya, hal tersebut bisa jadi kesempatan bagi Indonesia untuk membenahi diri sendiri agar industri sawit nasional lebih berkelanjutan termasuk dalam hal ketertelusuran.
“Oleh karena kita mengembangkan dashboard kemudian juga terus kita melakukan intensifikasi melalui kebijakan peremajaan sawit. Kemarin juga kita melihat untuk meningkatkan daya kompetitifnya dan juga untuk lebih menyejahterakan petani kita menurunkan pajak atau pungutan ekspor,” ucap Eddy.
Eddy menegaskan semua hal yang bergabungan sawit perlu dibenahi. Dengan catatan penting yakni tetap memegang prinsip keberlanjutan dan bisa dilihat saat ini bahwa ternyata tidak ada satu bagian pun dari sawit yang terbuang. Alih-alih terbuang, semua bagian sawit justru bisa dimanfaatkan menjadi produk bernilai tambah tinggi. (LIA)