BOGOR – Senin (16/12/2024) pukul 14.00-16.00 WIB adalah waktu yang disediakan Dwi Sutoro, Direktur Pemasaran PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III (Persero) untuk bisa kami wawancarai. Lokasinya pun dipilih di RUMMI Kopi Lan Tresna yang berlokasi di Jalan Bukit Sentul, Cijayanti, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Rombongan SAWITKITA tiba di lokasi 30 menit sebelum waktu yang telah ditetapkan. Pria 53 tahun yang kini juga sebagai Plt. Direktur Produksi dan Pengembangan PTPN III (Persero) itu pun telah menunggu di suatu ruangan yang sangat nyaman di resto dan kafe tersebut.
Didampingi dua karyawan PTPN III (Persero), pria kelahiran Semarang ini menyapa ramah SAWITKITA. Obrolannya pun tentu saja seputar perkebunan sawit. “Saya pakai bahan materi seminar ya Pak, biar runtut,” ujar Dwi Sutoro sembari menyerahkan foto kopian materi seminar berjudul: Industri Perkebunan untuk Indonesia Emas 2045.
Dia pun menjelaskan industri perkebunan sawit di Indonesia baik dari sisi tantangan maupun potensinya secara gamblang. Tentu saja juga soal rencana kerja PTPN III (Persero) pada tahun 2025 mendatang. Apa saja rencana kerja perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia ini? Simak petikan wawancara berikut ini.
Apa yang akan dilakukan PTPN di 2025?
Kami ingin meningkatkan produktivitas melalui intensifikasi di beberapa tempat. Sejak akhir tahun 2023, bisnis PTPN yang berbasis sawit di seluruh Indonesia dikelola under one-management. Skema ini berbeda jika dibandingkan sebelumnya yang dikelola beberapa perusahaan berdasarkan lokasinya. Beberapa kebun sawit kami produktivitasnya bisa sampai 6 ton CPO per ha, tapi ada juga yang hanya 3-4 ton, terutama kebun yang berada di Kalimantan dan Sulawesi.
Kenapa seperti itu?
Karena dulu secara perusahaan entity-nya kan berbeda-beda. Walaupun ada PTPN yang kaya seperti di Sumatera Utara, namun tidak bisa serta merta membantu PTPN yang ada di Sulawesi tanpa ada hubungan bisnis karena legalitasnya berbeda. Nah sekarang semua kebun sawit milik PTPN itu dikelola dalam satu manajemen yang sama.
Oleh karena itu, mulai tahun ini kami akan melakukan replanting di kebun-kebun yang dulunya belum dikelola dengan baik. Jadi kebun-kebun tua di Sulawesi dan Kalimantan yang dulu perusahaannya tidak mampu, kini akan kami replanting.
Jadi potensi peningkatan produktivitas itu akan terjadi di kebun-kebun yang ada di Kalimantan dan Sulawesi itu?
Secara agronomi, tanaman memerlukan nutrisi dengan ukuran yang sudah standar. Dulu tidak semua kebun bisa mendapatkan asupan nutrisi dan perawatan yang optimal, karena kondisi perusahaan tidak memungkinkan. Sekarang bisa dikatakan bahwa upaya untuk meningkatkan produktivitas itu ada di daerah-daerah yang dulu belum sempat teroptimalkan.
Seperti apa peran PTPN terhadap petani plasma, terutama terkait dengan replanting?
Kami benar-benar berkomitmen untuk mendorong terlaksananya program replanting di kebun milik petani yang menjadi plasma kami melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR). Hal ini adalah salah satu tugas kami sebagai BUMN yaitu menjadi agen pembangunan (agent of development) di samping terus mengoptimalkan pendapatan (value creator). Kami memiliki tim khusus untuk melakukan pendampingan kepada petani plasma agar mendapatkan pendanaan replanting dari BPDPKS.
Bagaimana dengan kebun petani yang bukan plasma?
Tentunya kami dorong juga untuk melakukan replanting dengan komunikasi ke pemerintah untuk memberikan effort khusus dan kami juga sanggup untuk melakukan pendampingan bila dibutuhkan. Kami melakukan komunikasi cukup intensif dengan Kementerian Pertanian, kemudian akhir-akhir ini dengan Kementerian Koordinator Bidang Pangan, terkait dengan program ketahanan pangan dengan menanam padi gogo. Itu merupakan satu solusi tambahan untuk para petani supaya mau melakukan replanting.
Seperti apa progres hilirisasi sawit yang dilakukan PTPN?
Walaupun ini tidak mudah, tapi kami tetap konsisten untuk lakukan hilirisasi. Kami akan mengoperasikan pabrik minyak goreng (PMG) yang kedua di Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumatera Utara. Commissioning sedang berlangsung sejak awal Desember 2024 dan kemungkinan akan kami operasikan di Januari 2025.
Mereknya apa?
Kami punya merek Nusakita dan beberapa merek lainnya. Tapi bagaimanapun juga minyak goreng ini tidak harus semuanya diedarkan dalam bentuk kemasan kalau kondisi pasar minyak goreng kemasan sudah aman. Kecuali jika terjadi kelangkaan minyak goreng seperti tahun 2022 lalu, mau tidak mau (minyak goreng PTPN) kita gelontorkan lebih banyak ke masyarakat. Tetapi selama kondisi minyak goreng di dalam negeri normal-normal saja, minyak goreng PTPN akan kami ekspor.
Jadi minyak goreng Nusakita orientasinya ekspor ya?
Produsen minyak goreng di Indonesia kan sudah banyak. Bisnis minyak goreng itu sangat tergantung pada lokasi pabrik. Pabrik kami ada di Sei Mangkei, kalau kami paksakan kirim minyak goreng ke Jawa, Sulawesi atau Kalimantan kan tidak efisien juga selama memang masih ada industri minyak goreng di lokasi tersebut.
Bagi kami yang penting masyarakat sudah bisa mendapatkan minyak goreng dengan mudah. Namun demikian kami siap memasok apabila terjadi kelangkaan minyak di mana pun daerah di Indonesia. Selama pemerintah membutuhkan, kami siap memasok minyak goreng. Jika tidak terjadi kelangkaan minyak goreng di dalam negeri, produk minyak goreng akan kami ekspor. Jadi hampir 80%-90% produk minyak goreng kami itu diekspor.
Tujuan ekspornya ke mana saja?
Tujuan kami terutama negara-negara baru yang mulai terbuka, membutuhkan minyak goreng, dan belum mempunyai fasilitas refinery, seperti Myanmar. Kebutuhan minyak goreng di Myanmar itu ternyata besar, karena jumlah penduduknya juga banyak. Kalau traditional market-nya masih ke India, Pakistan dan China.
Seberapa besar volume ekspor minyak goreng ke Myanmar ini?
Cukup besar karena mereka tidak punya refinery. Tahun 2025 ini kami akan banyak menggarap pasar Myanmar. Mereka ini industrinya belum berkembang, sehingga Myanmar adalah potential market baru selain traditional market seperti India, Pakistan, dan China.
Kami mulai membangun infrastrukturnya dan akan mengoperasikan pabrik biodiesel ini di Sei Mangkei. Pabrik biodiesel tersebut akan mulai dibangun tahun depan dan kemungkinan beroperasi di akhir 2026 sehingga membutuhkan waktu kira-kira 18 bulan lagi.
Pabrik biodiesel ini memiliki kapasitas 450.000 ton per tahun dan dapat menggunakann bahan baku milik sendiri. Total produksi CPO PTPN kan sekitar 3 juta ton dan refinery kami kalau dua-duanya jalan mulai Januari 2025 membutuhkan CPO sekitar 1,5 juta ton. Namun hal ini akan tergantung pada kondisi pasar, karena strategi PTPN itu kalau kondisi harga CPO lebih mahal, maka otomatis produksi minyak gorengnya akan dikurangi.
Apa pertimbangannya sehingga pabrik-pabrik tersebut dibangun di Sei Mangkei?
Pertimbangan utamanya adalah karena bahan baku kami ada di Sumatera Utara. Semakin jauh lokasi pabrik dari bahan baku, maka tentu saja cost-nya akan lebih mahal. Sei Mangkei juga dekat dengan Pelabuhan Kuala Tanjung. Posisi ini menjadi salah satu copmpetitive advantages kami karena sekitar 80%-90% produk hilir PTPN diekspor. Barang dari Sei Mangkei ke Pelabuhan Kuala Tanjung diangkut menggunakan kereta api.
Terkait dengan marketing, kebijakan apa yang akan dilakukan PTPN dalam menggarap pasar?
Bekerja sama itu adalah hal yang bagus, baik itu dengan perusahaan negara maupun swasta. Artinya mencari sinergi dengan perusahaan lain untuk mencapai win-win untuk menggarap market tertentu agar tumbuh bersama itu suatu keniscayaan yang bisa kita lakukan. Jadi PTPN tidak menutup diri hanya melakukan kerja sama dengan BUMN saja. Jadi jangan kaget apabila suatu saat nanti PTPN bekerja sama dengan perusahaan lain untuk menggarap pasar yang signifikan. Itu bisa terjadi.
Kolaborasi dengan industri lain untuk menumbuhkan potensi bisnis yang ada itu adalah salah satu mindset bisnis yang harus kita bangun. Jadi misalnya kalau bicara menggarap market tertentu, kita tidak perlu membangun sendiri mulai dari nol. Kalau bisa kerja sama dengan perusahaan yang sudah punya established market di sana untuk tumbuh bersama, kenapa tidak kita lakukan.
Era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini, ketahanan energi dan pangan menjadi prioritas. Apa yang akan dilakukan PTPN dalam rangka mendukung program tersebut?
PTPN mendukung penuh kebijakan pemerintah untuk mencapai ketahanan energi. Energi yang akan kami bangun adalah renewable energy yang sustainable. Untuk komoditas sawit secara basic, kami akan membangun pabrik biodiesel di Kawasan Industri Sei Mangkei yang ada di Sumatera Utara. Inisiatif ini dalam rangka mendukung pemerintah dalam menerapkan Program B40. Tentunya PTPN harus siap untuk berkontribusi dengan membangun industri biodiesel.
Obyektifnya tidak hanya sekadar memberikan tambahan kapasitas produksi nasional, tetapi juga untuk memonitor dinamika industri biodiesel itu seperti apa. Kalau ada industri milik negara yang memiliki kapasitas produksi barang tersebut walaupun volumenya tidak besar, maka setidaknya akan ada safety net dan pengambilan kebijakan yang data- and industry-driven.
Minimal sebagai perusahaan negara, kita benar-benar bisa siap kapan pun kalau memang itu dibutuhkan, sehingga kita bisa menjadi partner pemerintah. Saat ini belum ada satu pun BUMN yang memiliki industri biodiesel.
Apakah ada rencana untuk membangun industri selain biodiesel?
Kami juga sedang melakukan penjajakan dengan beberapa pihak untuk membangun energi berbasis sawit yang lain. Sawit itu tidak hanya minyak sawitnya saja yang bisa dimanfaatkan, tapi juga biomassanya, cangkangnya, tandan kosongnya, sampai limbah cairnya.
PTPN sudah memiliki roadmap untuk memproduksi bioavtur atau sustainable aviation fuel (SAF) berbasis minyak sawit. Riset dan feasibility study-nya sudah dilakukan bersama dengan mitra. PTPN tidak akan memulai hal yang baru ini sendirian. Kami harus berpartner dengan pihak-pihak lain yang relatif memahami teknologi dan pasarnya.
Dalam dunia bisnis, berkolaborasi dengan mitra yang berpengalaman memungkinkan perusahaan untuk berbagi risiko dan memanfaatkan keahlian khusus yang mungkin tidak dimiliki secara internal. Pendekatan ini tidak mengharuskan perusahaan untuk menjadi pelopor di bidang yang tidak dikuasai, dan dapat mengurangi beban finansial serta meningkatkan efisiensi operasional.
Kalau energi non sawit?
Dalam upaya mendukung transisi energi dan diversifikasi sumber bahan bakar, PTPN telah menjalin kerja sama strategis dengan Pertamina untuk membangun pabrik bioetanol. Pabrik ini direncanakan memiliki kapasitas produksi yang cukup besar dengan bahan baku utama berupa molases atau tetes tebu. PTPN nanti yang bertanggungjawab untuk menyediakan bahan bakunya.
Kolaborasi ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). Implementasi bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada impor BBM dan mendukung ketahanan energi nasional.
Di mana itu?
Kami sudah mengoperasikan pabrik di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Selanjutnya kami juga sedang membangun pabrik di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pembangunan pabrik etanol tersebut seiring dengan upaya kami meningkatkan produksi gula konsumsi.
Peningkatan produksi tebu tidak hanya meningkatkan produksi gula konsumsi saja tetapi juga menghasilkan lebih banyak molase, bahan baku utama untuk bioetanol. Dengan demikian, peningkatan produksi tebu secara langsung berkontribusi pada kapasitas produksi bioetanol.
PTPN berperan sebagai garda terdepan dalam pengembangan energi terbarukan untuk bahan bakar diesel dan bensin di Indonesia. Dalam hal bioetanol, PTPN bekerja sama dengan Pertamina yang memimpin pengembangan dan distribusi bioetanol sebagai bahan bakar nabati. Skema kerja sama ini telah dibahas dan akan diumumkan lebih lanjut setelah finalisasi.
Itu dukungan PTPN untuk Ketahanan Energi, bagaimana dengan pangan?
PTPN memiliki tugas sebagaimana dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 untuk menaikkan produktivitas gula nasional dengan tujuan mencapai swasembada gula konsumsi pada tahun 2028. Kebutuhan gula konsumsi di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 3 juta ton per tahun, sementara produksi kita sekarang ini hanya 2,4 juta ton. Masih ada defisit sekitar 600.000 ton untuk mencapai swasembada.
PTPN berkomitmen untuk menaikkan produksi gula guna menutup defisit ini. Produksi gula nasional tahun 2024 naik 200.000 ton dibandingkan produksi tahun 2023. Produksi PTPN sendiri naik 102.000 ton, dari 750.000 ton di tahun 2023 menjadi 852.000 ton. Jadi kenaikan 102.000 ton produksi gula PTPN ini ekuivalen dengan kenaikan 50% produksi dari gula nasional. Ini adalah milestone pertama kami.
Untuk produksi tahun 2025 seperti apa?
Milestone yang kedua yaitu pada tahun 2025 kami menargetkan produksi gula sebesar 1 juta ton, meningkat lagi kira-kira sebesar 150.000 ton dari produksi tahun sebelumnya. Sekarang ini teman-teman karyawan PTPN sedang bekerja luar biasa. Isu pada komoditas gula itu bukan berada di pabrik, tapi di ketersediaan dan kualitas/rendemen tebu. Inilah yang benar-benar kita garap baik yang diproduksi sendiri maupun dari petani mitra.
Dengan strategi ini, saya optimistis PTPN bisa memenuhi kebutuhan gula konsumsi nasional yang diperkirakan mencapai 3,2 juta ton pada tahun 2028, di mana PTPN akan berkontribusi sebesar 1,8 juta ton, sementara sisanya diproduksi oleh perusahaan swasta.
Ketahanan pangan dari sawit?
Untuk pangan dari sawit, kita punya minyak goreng yang merupakan bagian dari ketahanan pangan. Secara kapasitas, refinery kami punya kapasitas olah sekitar 1,5 juta ton CPO per tahun. Kalau full-capacity, berarti kami bisa memproduksi sekitar 1,2 juta ton minyak goreng per tahun.
Apakah ini akan dipakai semua? Jawabannya tergantung pada dinamika. Tapi saat dibutuhkan, PTPN sudah punya pabriknya. Saat minyak goreng langka pada tahun 2022, karena kami belum punya pabrik ya tidak bisa berbuat banyak walaupun kami punya bahan bakunya (CPO).
Apakah PTPN juga akan mendorong petani plasmanya untuk menanam padi gogo saat melakukan replanting?
Tentu saja, selain karena program pemerintah untuk ketahanan pangan, tapi program ini juga memberikan penghasilan lain bagi petani saat tanaman sawit belum bisa menghasilkan. Tapi selain padi gogo, ada sebagian petani sawit yang sudah lebih familiar dengan jagung. Sehingga antara padi gogo dengan jagung itu sebenarnya tergantung preferensi masing-masing petani. Pilihan ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti kondisi lahan, akses pasar, dan potensi pendapatan.
Apakah ada komoditas lain yang akan didorong PTPN dalam rangka mendukung ketahanan pangan?
Topik yang terakhir terkait ketahanan pangan yang masuk ke PTPN adalah susu. Produk susu yang beredar di Indonesia saat ini 80%-nya berasal dari impor. PTPN tentunya bukan ahli peternakan, tetapi kami memiliki aset lahan-lahan yang bisa dikerjasamakan untuk peternakan sapi maupun produksi pakannya. Sekali lagi kami tidak bisa menjadi menara gading yang stand alone, kalau memang kita tidak memiliki keahlian di bidang tersebut. Jadi harus kolaborasi dengan pihak lain.
Mitra strategis yang sudah memiliki established market sudah mulai ada yang melakukan penjajagan di beberapa tempat untuk membangun peternakan sapi untuk supply daging maupun susu. Peternakan sapi untuk menyuplai daging banyak dicari di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sementara peternakan sapi untuk menyuplai susu akan dicari di Pulau Jawa, karena memang industri pengolahan susu itu sebagian besar sudah dibangun di Pulau Jawa. Susu itu mirip dengan sawit, maksimal 18 jam pasca pemerasan harus masuk ke pabrik. Jika lebih dari 18 jam tidak diproses di pabrik, maka susu tersebut akan basi.
Jadi ini konsepnya optimalisasi lahan ya?
Betul. Jadi secara umum PTPN harus membuka diri dan bisa memilah mana aset yang memang bisa dioptimalkan sesuai dengan peruntukannya. Kalau kita punya lahan di kota misalnya, walaupun dulunya kebun, kalau jadi kebun lagi ya kurang optimal. (SDR)