JAKARTA – Buruh sawit Indonesia menuntut perhatian serius dari pemerintah. Ribuan pekerja di perkebunan sawit menilai kondisi kerja mereka belum layak, bahkan berada dalam situasi krisis.
Upah rendah, keselamatan kerja minim, hingga status kerja yang tidak pasti menjadi persoalan utama yang mereka hadapi sehari-hari. Koalisi buruh sawit pun menyerukan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit (RUPBS).
Aliansi Serikat Buruh Sawit Kalimantan (Serbusaka) menilai, meski Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, namun tidak sebanding dengan kesejahteraan dan pekerjaan layak bagi para buruh sawit. Bahkan nyaris tidak mendapat perhatian khusus.
Baca Juga: Buruh Sawit PT Kurnia Luwuk Sejati Meninggal Dunia di Kebun
Menurut Koordinator Aliansi Serbusaka, Rutqi, lebih dari 4 juta buruh sawit menghadapi pekerjaan yang tidak layak di Indonesia saat ini. “Sekarang kalau kita melihat fakta di lapangan. Ironisnya, dibalik kontribusi besar buruh sawit terhadap ekonomi, justru mengalami krisis pekerjaan yang layak,” kata Rutqi dalam talkshow International Palm Oil Workers United (IPOWU) 2025, Senin (8/9/2025).
Rutqi menilai upah yang diterima buruh sawit saat ini jauh dari kata layak. Tidak sebanding dengan beban kerja yang berat, risiko tinggi dari bahan kimia berbahaya, hingga medan kerja yang sulit membuat pendapatan mereka tidak sepadan dengan resiko yang ditanggung.
Status pekerja yang tidak pasti, banyak yang berstatus outsourcing, juga memperkecil jaminan keamanan kerja dari pengusaha. Tak hanya soal upah dan status kerja, keselamatan kerja menjadi isu krusial. Dalam riset terkait agro-kimia, banyak buruh yang tetap disiapkan Alat Pelindung Diri (APD), tetapi tidak berstandar nasional.
Baca Juga: ILO Perpanjang Dukungan untuk Sawit, Puji Kolaborasi Buruh dan Pengusaha
Mayoritas pekerja perempuan harus menyemprot herbisida dan pestisida berbahaya, membawa tangki penuh bahan kimia, berjalan di antara barisan pohon sawit di bawah terik matahari, sementara kabut kimia menyelimuti tubuh. Racun itu perlahan meresap ke kulit, mata, paru-paru, bahkan aliran darah.
Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS), Ismet Inoni juga menilai, banyak pekerja di industri kelapa sawit yang terdampak paparan kimia. “Kami sedang melakukan investigasi di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Temuan kami, ada buruh usia 20-an tapi fisiknya seperti 40–50 tahun,” ujarnya.
Kasus keguguran juga ditemukan pada pekerja wanita yang sehari-hari menyemprot bahan kimia tanpa APD lengkap.
Baca Juga: Buruh dan Pengusaha Sawit Kampanye Bersama di Eropa
Selain itu, medan kerja yang terjal di pedalaman hutan seharusnya diimbangi dengan dukungan infrastruktur dari pengusaha, misalnya tempat peristirahatan yang layak. Sayangnya, fasilitas ini masih minim, sehingga menambah beban fisik dan risiko bagi buruh sawit.
Kondisi nyata di lapangan ini mendorong KBS menyusun Naskah Akademik dan RUPBS, yang sebelumnya telah dikirim ke Kementerian Ketenagakerjaan.
RUU khusus ini diharapkan memberikan perlindungan lebih bagi buruh sawit, karena UU Ketenagakerjaan yang ada dianggap belum memadai untuk sektor dengan karakter risiko tinggi seperti perkebunan kelapa sawit.
“Berdasarkan temuan dan fakta-fakta di lapangan, undang-undang yang sekarang sudah eksis dianggap belum mencukupi untuk memberikan perlindungan dengan karakter yang berbeda di sektor perkebunan kelapa sawit,” tegas Ismet.
Koalisi buruh sawit menekankan bahwa pengesahan RUU Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit bukan hanya soal keadilan bagi pekerja, tetapi juga langkah penting untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan industri sawit nasional.
Dengan perlindungan yang memadai, buruh sawit diharapkan bisa bekerja lebih aman, sehat, dan sejahtera, sekaligus mendukung posisi Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia secara bertanggung jawab. (REL)