JAKARTA – Tahun ini Indonesia telah menerapkan mandatori biodiesel B40 atau campuran biodiesel berbasis minyak sawit 40% dengan minyak solar. Tahun depan, pemerintah Indonesia akan meningkatkan menjadi B50.
Namun, peningkatan mandatori biodiesel tersebut memunculkan tantangan secara teknis. Peneliti dari Pusat Riset Teknologi Bahan Bakar, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Soni Solistia Wirawan, mengingatkan tantangan yang muncul saat kadar blending biodiesel ditingkatkan, misalnya dari biodiesel 40% (B40) ke B50.
Menurutnya, biodiesel punya beberapa sifat penting, misalnya bisa membantu membersihkan mesin (solvency), tapi juga mudah menyerap air (hygroscopic). Selain itu, biodiesel rentan mengalami oksidasi dan bisa mengental atau membeku kalau suhu turun rendah.
Di sisi lain, biodiesel lebih ramah lingkungan karena mudah terurai, tapi energinya sedikit lebih rendah dibanding bahan bakar fosil, sehingga bisa berpengaruh pada tenaga mesin.
Baca Juga: Gassskeun…. B50 Bakal Diterapkan 2026
“Mungkin ini plus, tapi ini juga mungkin minus. Yang ini harus kita terus riset agar setiap campuran biodiesel kita makin tinggi, ya. Itu harus kita perbaiki parameternya supaya bisa kita campurkan makin tinggi,” ujar Soni.
Ia menekankan bahwa setiap peningkatan kadar campuran, misalnya dari dari B40 menuju B50, harus melalui tahapan yang matang dan berbasis riset.
“Tahapan-tahapannya harus dilakukan dulu. Kita lakukan penelitian dulu, ya, untuk tahu apa yang perlu diperbaiki dari campuran biodiesel tersebut. Misalnya, dari B30 ke B40, kadar airnya diturunkan, dari yang tadinya 500 jadi ke 360. Jadi diperkecil,” ujarnya.
Baca Juga: Prabowo Gencarkan Biodiesel hingga B50, Negara Hemat Rp303,46 Triliun
Selain kadar air, kadar stabilitas oksidasi (oxidation stability) juga harus diperpanjang agar biodiesel lebih tahan terhadap degradasi. Beberapa parameter teknis lainnya, kata dia, juga perlu disesuaikan. “Kalau nanti naik ke B50, ya diperbaiki lagi. Selalu seperti itu,” tambahnya.
Setelah penyempurnaan teknis dilakukan, lanjut Soni, campuran baru harus diuji, baik di laboratorium maupun melalui uji jalan (road test). “Untuk B40, kita lakukan road test sejauh 500 kilometer per hari, dipakai bolak-balik, hingga total mencapai 50.000 kilometer. Itu kita lakukan sekali setiap tiga bulan,” kata Soni.
Setelah pengujian, kendaraan yang masih dalam kondisi baru tersebut dibongkar untuk memeriksa bagian dalam mesinnya, apakah ada kerak atau tidak. “Alhamdulillah, yang B40 aman. Jadi, proses road test-nya harus dilakukan,” kata Soni.
Baca Juga: Pemberlakuan B50 Berpotensi Korbankan Ekspor CPO
Soni menyebut pengujian juga dilakukan di daerah bersuhu dingin seperti Dieng, Jawa Tengah, untuk mengetahui performa biodiesel saat kendaraan diparkir lama dalam suhu rendah.
“Kita coba di Tambi, Dieng. Mobil diparkir satu bulan, lalu di-starter. Harus langsung nyala. Karena biodiesel bisa menggumpal kalau dingin. Dan, alhamdulillah, dalam beberapa detik langsung menyala,” tuturnya.
Lebih lanjut, Soni mengingatkan pentingnya menjaga kualitas biodiesel selama proses distribusi agar tetap sesuai dengan standar mutu. Ia mencatat beberapa parameter yang perlu diperbaiki.
“Tadi misalnya, kadar air. Untuk B40 nanti ke B50, kadar airnya harus diperkecil. Oxidation stability. Terus grease roll dan lain-lain harus diperhatikan supaya tidak terjadi blok (penyumbatan),” ujarnya.
Penggunaan material juga perlu diperhatikan agar kompatibel. Biodiesel bisa bereaksi dengan material yang tidak cocok, misalnya karet bisa mengembang, dan kuningan tertentu bisa terkikis.
“Nah, ini harus diperhatikan. Jadi, ada produk-produk komponen yang tidak boleh bersentuhan dengan biodiesel. Makanya, tanki penyimpanan, selang, dan perlengkapan penyimpanan lainnya juga harus diperhatikan,” tambahnya.
Selain itu, teknik pencampuran harus akurat. Jika tidak tercampur sempurna, bahan bakar bisa terpisah-pisah. Ada berbagai metode teknis untuk memastikan pencampuran yang baik.
Kemudian, teknik sampling, pengujian laboratorium, dan kompetensi personel juga sangat penting. “Petugas yang melakukan pengujian di laboratorium harus tersertifikasi,” katanya.
Praktik good housekeeping, pemantauan kualitas penyimpanan, teknik pencampuran yang tepat, serta penyaluran yang bebas dari kontaminasi juga harus diterapkan. Selama pengiriman, bahan bakar tidak boleh terkontaminasi air atau kotoran lain yang bisa merusak kualitas.
“Ini sering menjadi sumber perselisihan, karena ada kasus di mana bahan bakar yang dikirim dinyatakan memenuhi standar, tapi saat sampai di tujuan kualitasnya sudah berbeda,” ujarnya.
Soni menyebut Indonesia kini menjadi negara dengan kadar campuran biodiesel tertinggi di dunia, dengan implementasi B40. “Negara lain harus belajar dari kita. Kita punya potensi, punya bahan baku. Arab punya minyak, kita punya energi terbarukan (renewable energy),” ujarnya.
Soni optimistis Indonesia mampu melanjutkan pengembangan hingga ke B50 bahkan B100, asalkan riset terus dijalankan dan kolaborasi lintas sektor diperkuat. “Kalau ada industri yang mau konsultasi, tim kita siap bantu,” katanya. (REL)