JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai pengelolaan sawit secara berkelanjutan dapat mendorong perekonomian rakyat. Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan, produksi dan penyerapan kelapa sawit yang semakin meningkat akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan negara atau devisa dari sawit pada 2022 mencapai US$ 39,07 milliar dan menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Tahun ini, dalam kurun Januari hingga Mei 2023, nilai ekspor sawit mencapai USD 11,72 milliar.
“Tanpa adanya sawit, maka neraca perdagangan maka turun,” tutur Eddy Martono dalam seminar nasional dengan tema Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan yang diadakan oleh SAWITKITA.ID, di Jakarta, Selasa (8/8).
Tingkat konsumsi minyak sawit di dalam negeri dalam empat tahun terakhir terus naik, berkisar kisaran 30-40% meskipun dari segi produksi tahunan relatif stagnan di level 51 juta ton. Lonjakan konsumsi ini utamanya imbas dari mandatori penyerapan biodiesel di dalam negeri, seperti B35.
Dari segi ekspor sawit Indonesia terjadi kenaikan di beberapa negara pada 2022 seperti India, Pakistan, Amerika Serikat. Ekspor ke beberapa negara tersebut juga kembali meningkat pada tahun ini, kecuali di AS.
Dari segi pertumbuhan luas lahan kelapa sawit paling rendah jauh lebih kecil dari kedelai. Namun dari tingkat produksi sawit bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan komoditas lain di sektor penghasil minyak nabati. “Produktivitas minyak (CPO) kelapa sawit jauh lebih tinggi dari pada tanaman lain, seperti biji bunga matahari (sun flower), kedelai, dan lainnya,” ujarnya.
Inpres 2015 melarang perusahaan melakukan ekspansi kebun sawit dengan pembukaan lahan baru, minimum 5% per tahun melakukan penanaman kembali (replanting). Di sisi lain, tantangan yang harus diatasi adalah produksi dan produktivitas relatif stagnan dan cenderung turun, sementara konsumsi dalam negeri terus meningkat (pangan, biodiesel, oleokimia), volume ekspor cenderung menurun. Hal ini menyebabkan realisasi PSR sangat rendah.
Tantangan lainnya yaitu kepastian berusaha di industri sawit, perkebunan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan sudah tertanam, punya perizinan dan HGU.
Kemudian, adanya kebijakan yang cepat berubah seperti kasus tata kelola minyak goreng, tuntutan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) sebesar 20%.
Selain itu, masih adanya kampanye negatif industri sawit, pelabelan palm oil free pada beberapa produk yang mengandung minyak nabati. Bahkan, ada juga kampanye negatif di beberapa buku pelajaran siswa.
Realisasi PSR 2017-2023 juga masih menjadi tantangan. Beberapa kendala di lapangan masih ada penyimpangan, sulitnya mencari pendamping, alas hak tanah petani, dan lainnya. “Kita berharap sinergitas pemerintah dan dunia usaha dalam tata kelola perkebunan sawit dan ekosistem bisnisnya. Sebab tidak dimungkiri ada jutaan rakyat yang bergantung hidupnya dari kebun sawit,” terangnya.
Eddy mengapresiasi kerja pemerintah yang dianggapnya sudah on the track, terutama melakukan peremajaan sawit. Industri kelapa sawit mempunyai peranan yang strategis terutama sebagai sumber devisa, penyerapan tenaga kerja dan pengembangan wilayah, sehingga perlu terus dijaga dan dirawat kesinambungannya.
Dalam upaya peningkatan Produksi dan Produktivitas Kelapa Sawit, perlu segera dilakukan peningkatan dan percepatan Implementasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terutama melalui jalur kemitraan. Perlu diupayakan program intensifikasi dengan pendampingan dan bantuan pembiayaan, adanya kepastian hukum bagai perusahaan yang sudah berjalan dan telah mempunya perijinan dan hak atas tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Mengingat perkebunan kelapa sawit adalah investasi jangka panjang dan diperdagangkan di pasar internasional, diperlukan kebijakan dan pengaturan pemerintah yang pasti dan tidak cepat berubah.
“Dengan adanya pengelolaan data yang baik, makanya implikasinya akan memudahkan bagi pemerintah dalam membuat regulasi kebijakan yang tepat untuk melindungi kelapa sawit atau komoditas lainnya secara berkelanjutan, termasuk berdampak dalam menopang ekonomi nasional,” pungkasnya. (FRK)