JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara alias Satgas Sawit bisa menjadi wasit yang adil dalam menyelesaikan sengkarut legalitas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Sebab tidak semua kebun sawit yang berada di kawasan hutan itu merupakan kesengajaan.
“Kalau itu memang tidak dengan sengaja karena dia mendapatkan izinnya dari daerah seperti itu. Kita kan izinnya dari daerah, tidak dari pusat. Misalnya saja izin lokasi, IUP (Izin Usaha Perkebunan) kan semuanya dari daerah. Nah kalau memang sudah sesuai seperti itu ya mari kita sama-sama kita perjuangkan,” kata Ketua Umum GAPKI Eddy Martono pada acara Press Conference IPOC 2023 di Jakarta, Selasa (3/10/2023).
Karena itu, Eddy berharap dengan adanya Satgas Sawit akan bisa berdiri di tengah menjadi wasit untuk menyelesaikan masalah ini. “Artinya kalau itu kami misalnya setelah dicek ternyata kami memang sudah sesuai dengan perizinan di awal, ya harusnya tidak tidak mendapatkan sanksi,” katanya.
Sebaliknya, apabila kebun sawit yang berada di kawasan hutan tersebut tidak sesuai perizinan, maka Eddy sepakat untuk dilakukan tindakan sesuai hukum yang berlaku. “Kalau memang melanggar, saya setuju bahwa itu harus dilakukan tindakan baik itu denda atau apa,” katanya.
Terkait dengan persoalan ini, kata Eddy, GAPKI akan terus memperjuangkan anggotanya yang kebunnya terindikasi masuk di kawasan hutan. “GAPKI tidak berhenti untuk memperjuangkan anggotanya dari garis yang benar bukan memang melanggar,” katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Sawit IPB, Prof. Dr. Budi Mulyanto mengusulkan kerja Satgas Sawit yang menjalankan perbaikan tata kelola dan optimalisasi pendapatan negara dari industri sawit sebaiknya dipisahkan.
Artinya pemerintah atau satgas harus mengutamakan tata kelola terlebih dahulu. Terutama soal legalitas lahan yang perlu pendataan dengan tepat serta dikelola dalam basis data yang parsial. Hal ini penting sehingga tidak terjadi polemik sengketa hak guna usaha (HGU) di kemudian hari.
“Dengan adanya legalitas beres, subjek atas tanah jelas, dan pemegang haknya bertanggungjawab untuk membayar pajak. Kejelasan ini yang akan berdampak positif terhadap negara,” ujarnya dalam Forum Group Discussion ‘Menimbang Satuan Tugas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit’ di Nagara Institute, Kamis (5/10/2023).
Budi mempertanyakan laporan pemerintah yang mendata mengenai perusahaan-perusahaan yang lahan sawitnya masuk dalam kawasan hutan. Hal itu merespons pemerintah yang menyebut lahan perkebunan sawit seluas 3,3 juta hektare (ha) masuk dalam kawasan hutan.
“Ini basisnya apa? Entar dulu, kan banyak legalitas yang dikeluarkan lembaga pemerintah, mulai dari izin lokasi, IUP dan sebagainya. Itu dikeluarkan oleh lembaga pemerintah NKRI. Saya harap jadi konsideran,” ungkapnya.
Menurut Budi, terkait sengketa tersebut ada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH) untuk mempercepat reforma agraria melalui legalisasi obyek agraria di kawasan hutan.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Prof Bustanul Arifin mengatakan, pihaknya bersama dengan para pelaku industri kelapa sawit sangat mendukung inisiasi tata kelola yang dilakukan pemerintah dengan segala tujuan dan manfaatnya untuk memajukan industri kepala sawit dalam negeri.
Namun pihaknya meminta pemerintah untuk objektif dan memperhatikan benar aturan yang digunakan sehingga tidak membingungkan para pelaku industri kelapa sawit. Menurutnya, sebanyak 2,2 juta ha lahan tersebut terancam diputihkan oleh Satgas Sawit apabila tidak memenuhi persyaratan bidang kehutanan, paling lambat tanggal 2 November 2023.
Dasar hukum pemutihan ini mengacu pada Undang-undang Cipta Kerja Nomor 110 A dan 110 B. Penggunaan Undang-undang cipta kerja tersebut tidak bisa dilakukan, karena jauh sebelumnya, perusahaan telah mengantongi sertifikat HGU yang menjadi dasar hukum mereka beroperasi memanfaatkan lahan hutan.
“Kami minta Satgas Sawit ini bekerja objektif. Bahwa HGU itu tidak duduk pada UU Cipta Kerja sehingga terjadi multitafsir karena sudah ditetapkan duluan pada UU Agraria tahun 1960,” kata Bustanul.
Sementara itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasioal (ATR/BPN) menyerap seluruh aspirasi dari para pelaku usaha kelapa sawit dan pakar pertanian dalam negeri, yang memprotes rencana pemutihan sertifikat izin Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan kelapa sawit total seluas 2,2 juta ha.
“Semua aspirasi diterima, akan disampaikan ke pimpinan kami, dan kemudian akan dibahas Satgas Sawit sesuai kapasitas kami (ATR/BPN),” kata Ketua Koordinator Subdirektorat Penetapan Hak Guna Usaha (HGU) Kementerian ATR/BPN David Kristian.
Dalam diskusi tersebut diketahui bahwa pemutihan izin lahan perusahaan kelapa sawit dengan total seluas 2,2 juta ha tersebut direncanakan oleh Tim Satgas Sawit. Lahan perkebunan sawit tersebut terancam diputihkan karena Tim Satgas Sawit menemukan pendiriannya berada di dalam kawasan hutan, namun ternyata belum memiliki Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan untuk sawit.
Terkait hal ini, David menjelaskan, Kementerian ATR/BPN adalah anggota Tim Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Keuangan.
Dalam keanggotaannya, ATR/BPN bertugas sebagai penyedia data-data perusahaan pemegang sertifikat HGU lahan kelapa sawit, untuk kemudian menyandingkan data tersebut dengan izin lokasi, dan kawasan hutan.
Dia menyebutkan, setelah data tersebut didapatkan dan tersandingkan maka kebijakan selanjutnya ditentukan oleh Tim Satgas Sawit yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Terlepas dari situ, ia menegaskan, seluruh sertifikat HGU yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN status lahannya sudah di luar kawasan hutan.
Berdasarkan Peta Kawasan Hutan 2021, luas tutupan sawit di kawasan hutan adalah 3,3 juta ha. Dari luasan tersebut, 237.000 ha sudah memiliki surat keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan sekitar 913.000 ha masih dalam proses penetapan SK. Namun, 2,2 juta ha belum memiliki SK dan belum berproses untuk mendapatkan SK pelepasan kawasan hutan tersebut. (SDR)