BANJARMASIN – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menegaskan bahwa perkebunan sawit ramah bagi pekerja perempuan. Kedua institusi inipun juga berkomitmen bahwa industri perkebunan kelapa sawit berkomitmen melindungi pekerja perempuan.
“Hal ini selaras dengan sawit berkelanjutan yang lebih memperhatikan hak pekerja perempuan yang bekerja di perkebunan sawit,” ujar Ketua GAPKI Bidang Ketanagakerjaan Sumarjono Saragih saat menjadi pembicara pada acara Sosialisasi dan Workshop ‘Perlindungan Pekerja Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Selatan’ di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (5/10/2023).
Berkaitan dengan perlindungan perempuan, Sumarjono, pada 2021 GAPKI telah menerbitkan buku Perlindungan Hak-hak Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit. Penerbitan buku ini merupakan kolaborasi dengan CNV Federasi Serikat Buruh Kehutanan, Perkebunan, dan Pertanian (Hukatan)-SBSI. “Sawit Indonesia ramah perempuan itu adalah sangat penting. Kita ingin membuktikan bahwa sawit Indonesia tidak seburuk yang dituduhkan banyak orang,” tegas Sumarjono.
Sumarjono juga menekankan melalui program yang nyata diimplementasikan GAPKI menempatkan perempuan sebagai sosok istimewa yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan. Menurutnya, industri sawit Indonesia tidak menutup mata untuk menjaga dan menempatkan perempuan dengan baik dalam perannya bekerja di industri perkebunan kelapa sawit.
Terlebih ini menyangkut tenaga kerja yang berjumlah 16 juta orang di sektor perkebunan, termasuk tenaga kerja perempuan. GAPKI sendiri, kata dia, mengambil inisiatif untuk menerbitkan Buku Panduan Perlindungan Terhadap Perempuan yang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Saat ini mereka sudah melakukan safari sosialisasi ke sejumlah daerah, termasuk di Kalimantan Selatan.
“Karena bukan menyangkut pertanian dan perusahaan, tetapi di mana ada pekerja menyangkut juga industri kelapa sawit, perlu kita bergandengan tangan. Saat bersamaan dunia pun menyoroti kesetaraan gender. Dan 70% volume sawit kita ini adalah global. Tidak ada pilihan kita harus ikut standar-standar internasional,” beber Sumarjono.
Diketahui, pilot project berupa Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan yang pertama untuk sawit sudah dilaksanakan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan pada perusahaan anggota GAPKI yaitu PT Hindoli tanggal 7 Agustus 2021. “Diharapkan di setiap provinsi sentra perkebunan kelapa sawit ada pilot project serupa sebagai contoh praktek baik,” katanya.
Dia pun mengungkapkan ini adalah PR penting yang juga harus didorong terus, termasuk dalam penerapannya di lapangan. Karena tentu saja terdapat tantangan dalam penerapannya.
Pada kesempatan yang sama Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS Ahmad Maulizal mengatakan pekerja perempuan di sektor kelapa sawit memiliki peranan penting dalam proses produksi. Dari 16,2 juta pekerja di seluruh rantai pasok kelapa sawit, para pekerja perempuan ini terlibat pada proses pembersihan lahan, pembibitan, penyemaian, penyemprotan, perawatan dan pengumpulan brondolan.
“Pekerja perempuan ini sangat teliti dan hati-hati dalam bekerja. Kinerja baik yang perempuan lakukan harus mendapat apresiasi dan perlakuan dengan baik. Maka BPDPKS dan GAPKI memberikan perhatian khusus dalam melindungi perempuan bekerja di perkebunan kelapa sawit,” kata Ahmad Maulizal, yang hadir dalam Sosialisasi dan Worksop Perlindungan Pekerja Perempuan Perkebunan Kelapa Sawit secara online.
Lebih jauh dia juga menyebutkan komitmen perusahaan kepada pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit merupakan langkah awal bahwa perusahaan telah siap menjalankan bisnis yang hijau dan berkelanjutan yang memberikan manfaat kepada pekerja.
“Komitmen perusahaan dapat meningkatkan kenyamanan dalam bekerja. Pekerja turut bangga menjadi bagian dari perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas. Dan bagi pemerintah ini akan sangat terbantu dalam menjalankan kebijakan sosialnya. Relasi yang baik dengan pemerintah sangat penting bagi perusahaan sawit,” sambungnya lagi.
Komitmen kebijakan dapat meningkatkan image perusahaan, meningkatkan kepercayaan konsumen untuk membeli dan mengonsumsi produk perusahaan sawit. Konsumen akan yakin bahwa mereka berkontribusi terhadap perbaikan kondisi kerja di sektor sawit, khususnya bagi pekerja perempuan.
Komitmen ini juga dapat menjadi alat untuk memastikan agar pemasok dan rekan bisnis mengikuti semangat yang sama. Diharapkan bahwa perusahaan yang terikat pada rantai pasok yang dapat tumbuh bersama menjadi hijau dan berkelanjutan. “Sedangkan bagi masyarakat adalah merupakan komitmen tertulis yang menyakinkan masyarakat tentang manfaat keberadaan perusahaan bagi mereka,” katanya.
Senada itu, Gubernur Kalsel Sahbirin Noor yang diwakili Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalsel Irvan Sayuti mengaku bangga dan apresiasi dengan langkah yang dilakukan BPDPKS dan GAPKI. Pihaknya sangat mendukung acara sosialisasi dan workshop perlindungan pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit ini.
Menurutnya, hingga saat ini belum ada kasus pengaduan ke Dinas Tenaga Kerja terkait pekerja perempuan di kebun sawit. “Kita sangat mengapresiasi, termasuk upaya dilakukan secara kontinuitas seperti sosialisasi hari ini. Secara umum di Kalsel belum ditemukan indikasi pelanggaran-pelanggaran yang mengarah pelecehan hingga yang lainnya. Kalau pun ada terkait administrasi maupun PHK saja,” terang Sayuti.
Ketua GAPKI Kalsel Edy S Binti menambahkan saat ini di Kalsel terdapat 86 perusahaan kelapa sawit. Sebanyak 53 perusahaan yang sudah menjadi anggota GAPKI atau 62%. Luas lahan yang ada mencapai 253.000 hektare.
Tercatat jumlah tenaga kerja sebanyak 68.528 orang, terdiri dari lelaki 52.081 orang, sedangkan perempuan 16.447 orang. “Peran perempuan sangat penting mendukung pertumbuhan industri kelapa sawit di Banua ini,” ucapnya. (SDR)