JAKARTA – Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Universitas Tarumanegara Ariawan Gunadi menyarankan pemerintah melakukan diversifikasi pasar kelapa sawit untuk mengurangi dampak Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa.
“Indonesia harus membangun pasar keuangan sawit yang mapan dan mendukung iklim usaha industri hingga dapat mengalahkan Uni Eropa,” ujarnya seperti dikutip antaranews.com di Jakarta, Minggu (8/10/2023).
Pada Mei 2023, Uni Eropa telah mengesahkan Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan peraturan itu telah diundangkan pada Juni 2023. Sebanyak 27 negara mengadopsi aturan yang membantu perserikatan negara-negara Uni Eropa itu mengurangi kontribusi terhadap deforestasi global.
Regulasi yang diberlakukan Uni Eropa itu melarang komoditi dan produk turunan perkebunan, pertanian, dan peternakan seperti minyak sawit, minyak kedelai, arang, daging sapi, kakao, kopi, karet, jagung, produk kayu dan pulp yang terindikasi dihasilkan melalui proses deforestasi dan degradasi hutan.
Barang-barang yang berasal dari negara dengan risiko deforestasi yang tinggi harus melalui pengecekan oleh petugas pabean Uni Eropa. “Komoditi dan produk turunan hanya boleh masuk ke pasar Uni Eropa jika memenuhi syarat. Antara lain bebas deforestasi dan degradasi hutan, memiliki legalitas yang cukup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara produsen dan mengikuti uji tuntas,” kata Ariawan.
Lebih lanjut dia berharap pemerintah menempuh beberapa kebijakan untuk mengatasi situasi tersebut. Di antaranya memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara yang telah menjadi pelanggan setia minyak kelapa sawit Indonesia, seperti Amerika Serikat, China, dan India.
Bahkan, memperluas pasar minyak kelapa sawit hingga ke negara timur tengah, negara Afrika, dan negara-negara Asia lainnya. Pemerintah juga perlu memperbanyak penyelenggaraan pelatihan EUDR bagi produsen UMKM dan petani kecil. Selain itu juga memberikan edukasi mengenai implementasi standar sustainability report dan implementasi sustainability certification seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) berdasarkan ketentuan EUDR dan mencukupi kebutuhan bahan baku minyak goreng dan turunan di dalam negeri.
Ariawan memandang meski kini Indonesia bersama negara-negara eksportir lainnya sedang mengupayakan perlawanan, namun tampaknya kecil kemungkinan Uni Eropa akan mencabut regulasi EUDR. Hal itu diperparah imbas dari kebijakan Indonesia yang melarang ekspor biji nikel.
Persyaratan due diligence EUDR tidak sesuai dengan prinsip dan kaidah hukum WTO karena persyaratan due diligence deforestasi dalam semua rantai pasok perdagangan internasional Uni Eropa secara inheren menciptakan sistem penolak-ukuran yang bersifat diskriminatif bagi negara-negara eksportir produk perkebunan, pertanian, dan peternakan khususnya kelapa sawit.
Menurut Ariawan, kebijakan itu mempersulit akses penetrasi pasar ke Uni Eropa yang berimbas merugikan produsen UMKM dan petani kecil. “Regulasi EUDR ini juga tidak sejalan dengan non-discrimination of goods principle (prinsip non diskriminasi) pada Pasal II ayat (1) GATT tentang Most Favoured Nation Treatment dan kaidah aturan di WTO,” paparnya.
Ariawan menegaskan Uni Eropa dalam konteks perdagangan internasional seharusnya merancang regulasi yang lebih mengedepankan negara berkembang dan negara dengan ekonomi terbelakang sesuai prinsip fair trade.
Selain itu, Uni Eropa juga seharusnya mengutamakan balancing position antara Uni Eropa dengan negara pengekspor seperti Indonesia agar terciptanya perdagangan internasional yang setara dan berkeadilan. (SDR)