JAKARTA – Hidup miskin, selalu bergelut dengan kotor, dan tak berpendidikan. Itulah sederet cerita soal petani di Indonesia. Rata-rata petani yang sejatinya merupakan pahlawan pangan ini hidupnya jauh dari kata sejahtera.
Memang miris. Jangankan menabung, pendapatannya bisa mencukupi kebutuhan sehari-sehari bersama anak-istrinya saja sudah bersyukur. Kondisi seperti itu umumnya terjadi pada petani tanaman pangan yang berada di Pulau Jawa.
Namun tidak dengan demikian petani yang satu ini. Namanya Ahmad Indradi. Dia merupakan salah satu petani milenial sukses asal Kalimantan Timur (Kaltim).
Ahmad rela meninggalkan tanah kelahirannya di Yogyakarta untuk menjadi petani sawit di Kaltim. Keputusannya untuk meninggalkan kampung halamannya berbuah manis. Kini dia menjadi petani sawit yang kaya raya.
Dia mengaku bangga menjadi petani sawit karena bisa mendapatkan pendapatan tetap (passive income), tanpa harus menunggui setiap saat tanaman sawitnya. Ahmad pun kini bisa menyalurkan hobinya travelling ke luar negeri.
“Jadi profesi petani menjadi satu kebanggaan karena kita bisa passive income, beda dengan petani di Jawa. Kita di Kaltim kebun sawit bisa berjalan dengan autopilot. Kita punya kendaraan yang baik, kita bisa ke luar negeri,” ungkap Ahmad saat bercerita di Special Dialogue dengan topik ‘Menata Masa Depan Kelapa Sawit Indonesia’ di Jakarta, Kamis (16/11/2023).
Ahmad bercerita, menjadi petani kelapa sawit di Kaltim juga tidak harus mengeluarkan modal besar seperti petani padi di Jawa. Sebab harga lahan di Kaltim masih murah. Lahan 1 hektare (ha) hanya berkisar Rp10 juta sampai Rp15 juta.
Bandingkan dengan harga tanah di Jawa yang per ha bisa mencapai Rp300 juta. Peluang inipun tak disia-siakan pemuda asal Yogyakarta ini. Karena menurutnya, kalau mau bertani jangan di Jawa karena lahannya sudah terbatas.
“Ini harusnya yang dilirik para pemuda Indonesia. Jadi ini tantangan dan peluang bagi anak-anak muda. Makanya masa depan anak muda itu bukan bertani di Jawa, tapi keluar Jawa tapi keluar Jawa,” katanya.
Namun demikian, tinggal di luar Jawa tantangannya besar. Karena harus siap menghadapi hal-hal yang ekstrem mengingat kita tinggal di tempat terpencil, tidak ada listrik, sehingga harus beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda di Jawa. “Kalau kita lihat kehidupan petani di Kaltim sejahtera,” tuturnya.
Maka dari itu, dia ingin agar milenial Indonesia berani untuk ambil sikap menjadi petani sawit di Kalimantan. Dia menegaskan kehidupan petani sawit sangat sejahtera, bukan buruk dan miskin.
“Kalau info tentang profesi petani itu yang disampaikan buruk, miskin, butut, kerja terus, lahannya kecil, harganya tidak menentu, dan lain-lain, itu ya tentu orang untuk menjadi petani berpikir 1.000 kali. Karena orang cenderung menekuni sesuatu yang memenuhi keinginannya,” tegasnya. (SDR)