JAKARTA – Masa depan industri sawit diyakini tetap cerah. Salah satu syaratnya jika pelaku industri terus mendorong penelitian dan pengembangan untuk menekuni hilirisasi produk turunan minyak kelapa sawit.
Hal itu diungkapkan Menteri Pertanian (Mentan) periode 2000-2001, Bungaran Saragih saat bertindak sebagai penanggap pada acara ‘Refleksi Industri Sawit 2023 dan Tantangan Masa Depan: Mau Dibawa ke Mana Sawit Kita? yang digelar Rumah Sawit Indonesia (RSI) di Hotel Westin, Jakarta, Rabu (10/1/2024).
Menurut Bungaran, produk hilirisasi itu lebih tahan fluktuasi harga dan memberikan kepastian serapan pasar pada industri hulunya. “Jadi, hilirisasi ini punya dampak keterkaitan (backward and forward linkage) yang besar bagi perekonomian,” ujar Bungaran.
Guru Besar IPB University ini juga mengatakan bahwa hilirisasi minyak kelapa sawit sejatinya sudah lama berjalan. Berbagai produk turunan sudah dihasilkan, seperti minyak goreng, produk kosmetik, perlengkapan mandi, biodiesel, dan bahan pangan. Namun, Bungaran berpendapat, masih terbuka inovasi berbagai produk turunan lainnya yang belum dieksplorasi.
Persoalannya, kata Bungaran, hilirisasi sawit di Indonesia terhambat lantaran sektor hulu produksi minyak sawit juga mengalami tantangan. Produktivitas panen sawit yang rendah karena peremajaan sawit rakyat yang lambat menjadi salah satu faktornya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum RSI Kacuk Sumarto sependapat bahwa produktivitas sawit secara nasional masih sangat rendah, terutama sawit rakyat. Padahal, industri sawit merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. “Tanpa sawit, APBN kita itu tekor,” ujar Kacuk Sumarto.
Karena itu, upaya peningkatan produktivitas di antaranya melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR) harus dipercepat realisasinya. “Prospek industri sawit nasional 2024 tetap baik, tergantung bagaimana kita menyelesaikan berbagai hambatan, termasuk rendahnya produktivitas. Dan untuk mengupayakan hal tersebut kita butuh dukungan kebijakan yang kondusif di tingkat hulu hingga hilir,” ungkap Kacuk.
Kacuk Sumarto juga mengatakan bahwa komoditas kelapa sawit memiliki potensi hingga Rp1.000 triliun. Untuk mendapatkan perputaran uang sebesar itu, maka perlu adanya percepatan PSR.
“Memang kalau kita melihat PSR tadi, memang ke depan kita harus percepat. Kalau itu seluruhnya bisa kita selenggarakan, per tahun itu ada tambahan penghasilan dari minyak CPO-nya sendiri sekitar Rp200 triliun. Nah hilirisasinya nilai tambahnya mesti 4 kali 5 kalinya. Artinya Rp1.000 triliun kalau itu bisa kita laksanakan, kalau multiplier effect-nya tiga kalinya, sebenernya Rp3.000 triliun,” katanya.
Rumah Sawit Indonesia (RSI) sebagai perkumpulan para pelaku pengusahaan kelapa sawit yang berbadan hukum menilai PSR harus dilaksanakan dengan segera. Namun Kacuk menyebut kendalanya di dalam penyelanggaraan PSR itu peraturan perundangan yang adil, saat ini sedang dalam perbaikan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan.
Kacuk berharap aturannya segera keluar sehingga RSI akan membantu pemerintah untuk percepatan pelaksanaan aturan ini. “Nah kendala berikutnya mengenai kawasan hutan, banyak lahan yang sudah dikelola puluhan tahun sampai dilakukan peremajaan pun masih di (masukkan) ke dalam kawasan hutan, baik itu di tingkat petani maupun perusahaan sendiri,” kata Kacuk. (SDR)