JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengubah mekanisme penentuan besaran maksimal ongkos angkut biodiesel. Hal ini sebagai tindak lanjut rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sebelumnya BPK menyatakan pola distribusi dan penetapan ongkos angkut Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau biodiesel yang telah ditetapkan Kementerian ESDM belum dapat menjamin kualitas, ketepatan waktu, dan ketersediaan stok serta memperoleh harga yang lebih menguntungkan negara.
Maka itu peraturan ongkos angkut biodiesel diubah dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 3.K/EK/05/DJE/2024 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar.
Kepada Kontan, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo menjelaskan, pada aturan sebelumnya ongkos angkut biodiesel didasarkan pada penawaran terendah transporter. Sedangkan dalam kebijakan baru ditentukan berdasarkan formula Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang didapat dari kajian independen yang juga sudah di-review oleh BPKP.
“Hasil perhitungan dengan menggunakan formula HPS tadi lalu dilakukan market sounding untuk melihat respon pasar. Hasil dari market sounding tersebut lalu ditetapkan sebagai besaran maksimal ongkos angkut,” ujar Edi Wibowo, Rabu (31/1).
Melansir Diktum Kesembilan beleid tersebut, dalam rangka perbaikan tata kelola seleksi penyaluran biodiesel, mulai tanggal 1 Juli 2024 Badan Usaha dalam menentukan transportir baru untuk penyaluran biodiesel harus melakukan proses seleksi dengan menyampaikan bukti proses seleksi kepada Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) dengan mempertimbangkan penawaran ongkos angkut yang paling efisien.
Edi menyatakan, perubahan ini merupakan masukan dari berbagai pihak dengan tujuan agar ongkos angkut biodiesel dapat lebih efiesien. Lebih lanjut, perubahan ongkos angkut yang lebih efisien diharapkan akan berdampak pada semakin efisiennya pengelolaan biodiesel.
Mengingat ongkos angkut akan berpengaruh pada besaran Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel. Secara garis besar Harga Indeks Pasar Biodiesel ditentukan berdasarkan harga rata-rata CPO bulan sebelumnya + biaya konversi + ongkos angkut.
Sejalan dengan itu, Edi menyatakan, perubahan hitungan ongkos angkut ini akan berdampak pada efisiensi subsidi biodiesel jika HIP biodiesel masih lebih tinggi dari HIP minyak solar.
Sebagai informasi, insentif biodiesel dilakukan melalui dana perkebunan sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), sebuah Badan Layanan Umum (BLU) yang berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
BPDPKS memiliki tugas sebagai penghimpun dana dari perkebunan sawit yang bersumber dari pungutan ekspor terhadap komoditas sawit dan produk turunannya. Sebagian dana yang terhimpun digunakan untuk pemberian subsidi terhadap BBN jenis biodiesel.
Pemberian subsidi dihitung berdasarkan selisih antara HIP biodiesel dengan HIP dari solar, dengan mekanisme subsidi diberikan kepada Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU-BBN) berdasarkan dari selisih harga tersebut dan realisasi penyalurannya. (ANG)