JAKARTA – Rencana penerapan kebijakan biodiesel B50 berpotensi menimbulkan tekanan besar terhadap industri sawit nasional. Kebijakan itu, jika dijalankan tanpa perhitungan matang, bisa menjadi “genta kematian” bagi sektor sawit yang kini sudah kehilangan daya saing di pasar global.
Demikian dikatakan Guru Besar IPB University Bayu Krisnamurthi dalam forum Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Keseimbangan Kebijakan Energi dalam Implementasi Mandatori Biodiesel di Indonesia”, yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Bayu menjadi penanggap utama atas hasil riset yang menyoroti risiko ekonomi dari rencana kenaikan campuran biodiesel dari B40 menjadi B50. “Kalau angka-angka riset ini benar, maka kenaikan B40 ke B50 akan menambah beban subsidi, menekan ekspor, menaikkan harga minyak goreng, dan pada akhirnya menggerus daya saing sawit kita. Itu genta kematian bagi industri sawit Indonesia,” kata Bayu.
Baca Juga: BRIN Beberkan Tantangan Mandatori Biodiesel dari B40 ke B50
Dia menjelaskan, kondisi industri sawit Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Dalam dua tahun terakhir, produksi dan investasi sawit cenderung stagnan karena pelaku usaha menahan ekspansi akibat ketidakpastian kebijakan.
“Investasi di sawit tidak seperti menanam jagung. Hari ini diputuskan, hasilnya baru terasa 12 sampai 15 bulan kemudian. Jadi ketika kebijakan masih belum pasti, wajar pengusaha menunggu,” ujarnya.
Menurut Bayu, stagnasi ini diperparah oleh melemahnya daya saing sawit Indonesia di pasar global. Saat ini, harga minyak sawit mentah (CPO) tercatat sekitar USD300 lebih mahal dibanding minyak kedelai (soybean oil).
“Pasar internasional kini membeli sawit saja sudah alhamdulillah. Banyak negara konsumen justru gencar melakukan riset untuk mengganti minyak sawit. Ini konteks besar yang perlu dipahami sebelum bicara B50,” tuturnya.
Baca Juga: Implementasi B50 Perlu Tambahan Lahan Sawit 2,3 Juta Ha
Bayu memaparkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa penerapan B50 akan menambah kebutuhan CPO domestik sekitar 4 juta ton untuk campuran biodiesel. Langkah ini, menurutnya, otomatis menurunkan ekspor sekitar 5 juta ton dan berpotensi menggerus nilai ekspor sebesar Rp190 triliun.
Di sisi lain, program B50 akan membutuhkan tambahan subsidi hingga Rp46,45 triliun, naik sekitar Rp10–12 triliun dari skema sebelumnya. “Kalau BPDP harus menanggung subsidi sebesar itu, habis uangnya. Program replanting bisa dilupakan,” ujar mantan Wakil Menteri Perdagangan itu.
Bayu menambahkan, meski penghematan impor solar bisa mencapai Rp172 triliun, secara keseluruhan Indonesia tetap akan kehilangan devisa sekitar Rp18 triliun.
Kenaikan mandatori biodiesel juga akan berdampak langsung pada harga minyak goreng dan tandan buah segar (TBS). Berdasarkan simulasi riset yang ia tanggapi, harga CPO dunia bisa naik hingga USD150 per ton, dan TBS sempat naik sementara sekitar Rp600 per kilogram. Namun, bila subsidi habis dan pemerintah menaikkan pungutan ekspor (PE), harga TBS justru bisa jatuh hingga Rp1.700 per kilogram.
Baca Juga: Pemberlakuan B50 Berpotensi Korbankan Ekspor CPO
“Harga minyak goreng juga berpotensi naik sekitar Rp1.900 per liter. Jadi, selain target energi, seluruh biaya kebijakan ini akan ditanggung oleh ekonomi nasional—produsen dan konsumen sama-sama kena,” kata Bayu.
Lebih jauh, Bayu mempertanyakan urgensi peningkatan porsi biodiesel di tengah perubahan tren global energi. Menurutnya, penggunaan biodiesel saat ini tidak lagi sejalan dengan arah teknologi otomotif dan pembangkit listrik yang menuju sistem non-mesin bakar.
“Biodiesel diperlukan ketika harga minyak bumi tinggi dan minyak nabati rendah. Sekarang kondisinya terbalik. Jadi secara ekonomi dan energi, kebijakan ini tidak rasional,” ujarnya.
Bayu juga mengingatkan bahwa program biodiesel semula lahir pada 2015 saat harga CPO jatuh, untuk menyelamatkan harga petani. “Sekarang ceritanya sudah berbeda. Harga sawit tinggi, tapi daya saing menurun. Maka, kebijakan harus realistis,” katanya menegaskan.
Mengakhiri paparannya, Bayu menyatakan dukungan terhadap kesimpulan riset yang merekomendasikan kebijakan biodiesel lebih fleksibel dan berbasis data. “Kita perlu keseimbangan antara target energi, ekspor, dan kesejahteraan petani. Sawit Indonesia ini luar biasa kuat, tidak mungkin kalah—kecuali kalau kita sendiri yang membuatnya kalah,” ujar Bayu. (REL)