JAKARTA – Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa akan mempercepat penerapan B50. Jika itu terjadi, maka bisa dipastikan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) akan berkurang atau bahkan tidak akan ada ekspor.
Kebijakan itu dilakukan selain untuk kemandirian energi, juga karena merupakan strategi Indonesia untuk menghadapi kebijakan negara-negara Barat yang mendiskreditkan minyak sawit. Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono mengungkapkan biodiesel B50 menjadi bargaining Indonesia kepada dunia.
“Barangkali dari semua komoditi perkebunan ini yang paling siap adalah sawit. Sawit ini tinggal kita dorong, bagaimana sawit supaya bisa masuk ke banyak pasar peningkatan ekspor kita, kemudian dikonversi menjadi B50 sebagai bagian dari bargaining kita kepada dunia,” ujar Sudaryono dalam acara Perkebunan Indonesia Expo (BUNEX) 2024 di Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (12/9/2024).
Baca Juga: Lembaga Ini Sebar Ratusan Miliar Beasiswa, Kuotanya 3.000 Orang
Menurut dia, hal tersebut dikarenakan Indonesia menguasai hampir 60% dari sawit dunia. “Sawit itu kita produsen terbesar, terus rata-rata pengusaha dan petani sawit kita ini kalau dalam dia berusaha itu ada kekhawatiran apakah laku atau tidak produknya. Sekarang ini kita sudah punya substitusi. Jadi kalau misalnya negara tujuan ekspor mempersulit dan lain-lain, kita bisa substitusi menjadi energi,” katanya.
Dengan menguasai hampir 60% sawit dunia dan mampu mengonversinya menjadi biodiesel B50, maka Indonesia bisa berdaulat dalam sektor pangan dan energi. “Saya kira ini kita tidak lagi ditentukan nasib kita oleh para pembeli. Kenapa? Kalau pembeli tidak mau beli sawit, maka sawit dikonversi menjadi bahan bakar,” kata Sudaryono.
Selain itu dengan sawit dapat diubah menjadi B50, maka Indonesia juga dapat mengendalikan harga komoditas sawit di market. “Itu artinya kalau produktivitas kita tinggi tetapi harga jatuh, kita konversi sebagian untuk B50 untuk bahan bakar biosolar kita. Jadi kita ada bandulan,” kata pria asal Grobogan, Jawa Tengah ini.
Baca Juga: Biar Riset Sawit Aplikatif, Ini yang Dilakukan BPDPKS
Kebijakan ini, kata Sudaryono, sama seperti Brazil yang menerapkan pada komoditas tebu. “Jadi saat harga gula tinggi, dia produksi di gula supaya harga gula turun. Kalau harga gula lagi rendah sekali, dia tarik sebagian untuk memproduksi bioetanol supaya harga gulanya stabil,” ujar Sudaryono.
Dirinya menyampaikan bahwa Kementerian Pertanian (Kementan) berkomitmen untuk terus mendukung peningkatan biodiesel dari sawit. “Jadi ini akan terus ditingkatkan dari B50, bahkan secara teknologi B100 sudah berhasil,” katanya. (SDR)