JAKARTA – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) masih belum bisa memastikan efektivitas dari penurunan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit alias Crude Palm Oil (CPO) serta dampaknya terhadap pendanaan atau subsidi program mandatory biodiesel.
Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini masih akan mengevaluasi dampak kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64 Tahun 2024, setidaknya dalam waktu satu semester ke depan.
Baca Juga: BPDPKS Dukung Sertifikasi ISPO Petani Sawit
“Efektivitas dari kebijakan ini baru bisa kita lihat beberapa bulan ke depan. Untuk itu akan dilakukan evaluasi 6 bulan setelah diberlakukan,” kata Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman di Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Untuk diketahui, BPDPKS mengelola setoran pungutan ekspor CPO dan sebagian digunakan untuk mendanai megaproyek mandatori biodiesel serta peremajaan lahan perkebunan kelapa sawit.
Adapun pada 2024 ini, kebutuhan pendanaan atau subsidi biodiesel untuk program mandatori B35 diperkirakan mencapai Rp28,5 triliun. Angka tersebut melonjak sekitar 55,56% dari realisasi tahun lalu. Target tersebut tercapai dengan asumsi jika dana pungutan ekspor CPO juga tercapai setidaknya Rp27,3 triliun pada tahun ini. Sementara itu, sampai dengan kuartal I/2024, BPDPKS telah menyalurkan insentif biodiesel senilai Rp1,39 triliun.
Baca Juga: Kelapa Sawit Jadi Lumbung Energi Terbarukan
Kendati demikian, dirinya menegaskan bahwa kebijakan penyesuaian tarif pungutan ekspor diharapkan bisa mendongkrak pengiriman komoditas CPO dan produk turunan lainnya di tengah persaingan pasar minyak nabati global.
Pasalnya, tujuan utama dari kebijakan tersebut, menurut Eddy, adalah untuk menaikkan daya saing CPO dan derivative-nya terhadap minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, dan lain-lain. “Mengingat adanya kecenderungan penurunan harga dari minyak kedelai karena meningkatnya produksi atau suplai,” ungkapnya.
Subsidi Biodiesel Dapat Terganggu
Sementara itu, Achmad Nur Hidayat selaku ekonom sekaligus pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Negeri Veteran Jakarta (UPNVJ) menilai jika pemangkasan pungutan ekspor CPO memang bisa meringankan beban eksportir minyak sawit itu sendiri. Kendati demikian, hal tersebut tetap menimbulkan kekhawatiran di masa depan.
“Pemangkasan pungutan ekspor ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait dengan masa depan keberlanjutan program bioodiesel di Indonesia. Dana yang dikumpulkan dari pungutan ekspor selama ini digunakan untuk mendanai subsidi biodiesel,” kata Achmad.
Baca Juga: Ini Dia Sembilan Jenis Bantuan Sarpras bagi Petani Sawit
Pasalnya, dengan berkurangnya pendapatan dari pungutan ekspor CPO tersebut, dia menilai jika kemampuan pemerintah melalui BPDPKS untuk menyubsidi biodiesel seperti B30, B40, B50 dan seterusnya akan mengalami gangguan.
“Ini bisa menjadi tantangan serius bagi keberlanjutan program biodiesel pada masa depan, terutama jika pemerintah tidak segera mencari sumber pendanaan alternatif, seperti pajak karbon atau kebijakan lainnya,” jelasnya.
Dengan demikian, meskipun kebijakan tersebut memberikan dorongan bagi sektor sawit dalam jangka pandek, khususnya dalam peningkatan daya saing ekspor, namun Achmad juga mewanti-wanti pemerintah untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap program energi berkelanjutan di Indonesia. (ANG)