EDITORIAL
Rencana pemerintah meluncurkan Bursa Berjangka Khusus CPO (minyak sawit mentah) menjadi diskusi hangat di kalangan pemerintah, pelaku usaha dan petani kelapa sawit. Jika tidak ada aral melintang, sebulan lagi bursa ini beroperasi. Dan impian Indonesia untuk memiliki harga acuan CPO sendiri. bahkan bisa menjadi harga acuan dunia, akan terwujud. Itu harapan pemerintah, namun pelaku usaha dan petani sepertinya melihat dari perspektif yang berbeda.
Seperti dikatakan Kepala Bappebti (Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi) Didid Noordiatmoko, dengan adanya Bursa Berjangka CPO, kinerja ekspor sawit akan semakin meningkat sehingga negara akan semakin tajir.
Pelaku usaha dan petani kelapa sawit melihatnya berbeda. Bagi pelaku usaha perkelapasawitan, kewajiban bertransaksi ekapor melalui bursa akan menambah biaya. Sehingga beban usaha para eksportir bertambah setelah sebelumnya harus menanggung double taxation (pajak berganda) yaitu pajak ekspor (bea keluar) dan pungutan ekspor (levy). Belum lagi kewajiban pasokan dalam negeri (DMO/ domestic market obligation) yang membuat ruang gerak ekspor lebih terbatas.
Bagi petani kelapa sawit beban besar pelaku usaha yang merupakan off taker dari TBS (tandan buah segar) yang mereka hasilkan, pada akhirnya dibebankan kepada petani. Harga jual TBS petani akan cenderung lebih rendah dari harga pasar yang seharusnya.
Melihat dialektika Bursa Berjangka CPO ini, pemerintah perlu lebih komprehensif dalam memahami tantangan industri sawit Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang. Benarkah persoalan harga acuan CPO yang merujuk kepada Kuala Lumpur dan Rotterdam adalah isu utama yang perlu segera dicarikan jalan keluar? Jangan-jangan, Bursa Berjangka CPO ini hanya untuk gaya-gayaan, tidak jelas manfaat dan tujuan. Mubazir.
Eloknya pemerintah lebih fokus pada strategi dalam mengatasi persoalan nyata dalam industri sawit. Misalnya, percepatan realisasi peremajaan sawit rakyat dan peningkatan produktivitas kebun petani, tumpang tindih kebijakan, tantangan keberlanjutan, program penelitian dan pengembangan, serta kampanye hitam sawit dan diskriminasi dagang dari negara-negara Barat terutama Uni Eropa.
Persoalan-persoalan ini adalah masalah riil yang akan menentukan hidup matinya industri sawit. Bukan masalah dari pasar mana kita mencari acuan harga CPO yang akan kita jadikan dasar dalam berbisnis.
Jika pada akhirnya Bursa Berjangka CPO tetap berjalan, pekerjaan rumah besar dari pemerintah adalah bagaimana bursa ini benar-benar mampu menjadi sarana peningkatan kinerja ekspor sawit nasional. Bukan sebaliknya. (LIA)