NUSA DUA – Carut marut regulasi melingkupi usaha perkebunan kelapa sawit nasional. Pelaku usaha pun menghadapi ketidakpastian dalam berinvestasi.
Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Studi Sawit IPB University Prof. Budi Mulyanto saat menjadi pembicara di hari pertama 21st Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025 and 2026 Price Outlook yang digelar di Nusa Dua, Bali, Kamis (13/11/2025).
Prof Budi Mulyanto memaparkan bahwa industri sawit mengelola 16,8 juta hektare (ha) dengan kontribusi ekspor USD30–40 miliar per tahun. Lebih dari 16,5 juta tenaga kerja bergantung pada sektor ini. Ia mengingatkan bahwa 42% dari total lahan dikelola petani rakyat.
Baca Juga: Program Biodiesel Ciptakan 2 Juta Lapangan Kerja
Karena itu, menurutnya, posisi hukum petani harus diperjelas. Sebagian lahan rakyat masih mengalami tumpang tindih status kawasan. “Kepastian hukum harus dimulai dari keadilan bagi petani kecil,” tegasnya.
Sumber besar ketidakpastian, kata Prof Budi Mulyanto, datang dari fragmentasi regulasi. Lebih dari tiga puluh kementerian dan lembaga berwenang di sektor sawit. Kondisi ini menyebabkan kebijakan tumpang tindih dan data yang tidak sinkron.
Pelaku usaha pun menghadapi ketidakpastian dalam investasi. Target keberlanjutan juga sulit dicapai tanpa koordinasi yang jelas. “Tidak adanya otoritas tunggal membuat aturan tumpang tindih, data tidak sinkron, target keberlanjutan tak tercapai, dan iklim investasi menjadi labil,” katanya.
Baca Juga: Produktivitas dan Hilirisasi Kunci Masa Depan Sawit Nasional
Ia menegaskan bahwa pembenahan harus kembali pada Pasal 33 UUD 1945. Sawit harus dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ia menyebut pembentukan satgas tata kelola sebagai langkah awal.
Namun, Budi menilai langkah itu belum cukup. Ia menegaskan perlunya reformasi struktural yang menyatukan hukum, kebijakan, dan diplomasi ekonomi. Reformasi itu harus dilakukan secara menyeluruh.
Ia kemudian menjelaskan lima pilar kepastian hukum dan investasi. Pilar tersebut meliputi kepastian legal, stabilitas kebijakan, tata kelola berkelanjutan, keadilan sosial, serta penguatan hilirisasi. “Pilar-pilar itu saling menguatkan,” tuturnya.
Prof Budi Mulyanto menekankan pentingnya keseimbangan antara keadilan dan stabilitas. Tanpa keduanya, investasi tidak dapat berkembang. “Ketika hukum menghadirkan keadilan dan kebijakan membawa stabilitas, investasi akan membangun kemakmuran, di situlah kedaulatan ekonomi Indonesia berdiri,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa reformasi hukum harus dilihat sebagai proses menuju kejelasan. Reformasi akan membawa konsistensi fiskal, transparansi lembaga, dan keberlanjutan investasi. Ia menyebut ini sebagai “structural rearrangement toward clarity”.
Prof. Budi Mulyanto menegaskan bahwa sawit kini berperan dalam diplomasi ekonomi dan bukan lagi sekadar komoditas pertanian. “Sawit kini bukan sekadar agri-commodity, melainkan pilar strategis diplomasi ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Sebagai tindak lanjut, Budi mengusulkan pembentukan Badan Sawit Nasional. Ia berharap lembaga ini menjadi jangkar diplomasi sawit Indonesia. “One Map, One Data, One Authority,” katanya. (SDR)

