JAKARTA – Kabar gembira bagi daerah penghasil sawit di Indonesia. Dana bagi hasil (DBH) Sawit akan dicairkan pada semester II/2023.
“Akan dibayar ke pemda melalui transfer ke daerah (TKD). Kita bayarkan di semester dua,” jelas Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR, Senin (10/7/2025).
Menurutnya, penyaluran DBH Sawit bertujuan untuk mendukung pembangunan infrastruktur di daerah dengan tetap memperhatikan kontribusi masing-masing daerah.
Baca Juga: DBH Sawit Bisa Dimanfaatkan untuk Perlindungan Sosial Pekerja
“Transfer ke daerah akan tetap dijaga. Kita mulai menyalurkan DBH Sawit yang merupakan hal baru sebesar Rp3,4 triliun,” sebutnya.
DBH Sawit bersumber dari pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) ekspor minyak sawit (CPO). Batas minimum alokasi per daerah penghasil untuk tahun anggaran 2023 adalah Rp1 miliar.
DBH Sawit diberikan kepada untuk 350 pemerintah daerah penghasil sawit. Masing-masing daerah penghasil, berbatasan dengan daerah penghasil, dan provinsi termasuk 4 daerah otonomi baru di Papua.
Baca Juga: Kubu Raya Optimalkan DBH Sawit untuk Infrastruktur dan SDM
“Besarnya porsi DBH Sawit minimal 4% dan dapat disesuaikan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara,” jelasnya.
Formulasi pembagian DBH yakni pemerintah provinsi akan mendapatkan 20%, sementara kabupaten/kota penghasil akan mendapatkan 60%, dan kabupaten/kota yang berbatasan mendapatkan 20%.
Kemudian persentase tersebut dikalikan dengan porsi DBH Sawit minimal 4% sehingga menghasilkan proporsi penerimaan masing-masing provinsi 0,8 %, Kabupaten/Kota penghasil 60% x 4% = 2,4%, dan Kabupaten/Kota berbatasan 20% x 4% = 0,8%.
Baca Juga: Sumatera Selatan Terima DBH Sawit Rp 51,2 Miliar
Dia menambahkan, penetapan batas minimum penerimaan daerah sebesar Rp1 miliar dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa PE dan BK tergantung volume ekspor dan harga di pasar.
Di 2022, beberapa bulan PE dan BK sebesar 0 sehingga penerimaannya juga 0. “Itu artinya sumber dana DBH Sawit 0 sehingga ada daerah yang mendapatkan porsi sangat kecil. Makanya kami putuskan ada batas minimum, minimal dapat Rp1 miliar per daerah,” jelasnya.
Sesuai Pasal 120 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), variabel untuk kabupaten/kota penghasil adalah luas lahan dan produktivitas CPO. Sedangkan untuk kabupaten/kota berbatasan, variabelnya adalah batas wilayah. (ANG)