JAKARTA – Akses ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke pasar Uni Eropa berpotensi lebih terbuka menyusul dukungan Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade Organization/WTO) atas sengketa bea imbalan impor biodiesel asal Indonesia. Meski demikian, standar keberlanjutan lingkungan yang ditetapkan Uni Eropa bisa menjadi hambatan jika tak dipenuhi eksportir Indonesia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan, keputusan WTO memberi sinyal positif karena berpotensi menghapus hambatan nontarif terhadap biodiesel, sebagai salah satu produk turunan kelapa sawit Indonesia.
“Dengan putusan WTO tersebut, artinya hambatan nontarif pada kasus itu bisa hilang, dengan catatan, Uni Eropa (UE) menerima putusan tersebut dan tidak melakukan banding,” ujarnya seperti dikutip Kompas di Jakarta, Senin (25/8/2025).
Baca Juga: Horee…, Produk Sawit Bebas Bea Masuk ke Eropa!
Sengketa bea imbalan impor biodiesel asal Indonesia sudah berjalan sejak 2023, ketika Uni Eropa mengenakan bea masuk tambahan pada biodiesel dari sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Komisi UE beralasan, Pemerintah Indonesia memberikan subsidi tidak langsung kepada industri biodiesel melalui kebijakan bea keluar, pungutan ekspor, hingga dugaan intervensi dalam penetapan harga sawit.
UE menilai praktik tersebut membuat harga bahan baku biodiesel di Tanah Air lebih murah sehingga merugikan industri biodiesel Eropa. Namun, tuduhan ini ditolak panel WTO setelah melalui proses panjang.
Laporan akhir panel WTO yang dipublikasikan pada awal Januari 2025 menyatakan, UE terbukti mendiskriminasi minyak sawit dan produk turunannya. UE memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biodiesel dari sawit Indonesia dibandingkan dengan bahan bakar nabati produksi UE yang berbahan baku biji rapeseed dan bunga matahari.
Baca Juga: Eropa Akui Sawit Indonesia Berkelanjutan
Saat ini, menurut Eddy, ekspor biodiesel asal Indonesia ke pasar Uni Eropa sudah tidak terlalu besar. Sebab, ada kewajiban bauran biodiesel dalam negeri yang terus meningkat dan harus diutamakan Di sisi lain, Uni Eropa saat ini sudah mulai memproduksi biodiesel dengan bahan baku minyak jelantah dari biji bunga matahari, kacang kedelai, dan sawit.
Namun, keputusan Panel WTO akan membuka akses pasar produk biodiesel berbasis kelapa sawit. Keputusan tersebut sekaligus berpotensi mendongkrak ekspor ke Uni Eropa.
“Kami menyambut baik keputusan WTO tersebut dan ini membuktikan apa yang dituduhkan Uni Eropa tidak benar. Kebijakan terkait dengan biofuel program di Indonesia tidak melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional sebagaimana ditetapkan oleh WTO,” kata Eddy.
Baca Juga: Indonesia Menang Lawan Gugatan Uni Eropa di WTO
Posisi Indonesia, menurut Eddy, sebenarnya kian kuat setelah pemerintah menyelesaikan perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) yang tertunda selama hampir satu dekade. Melalui kesepakatan ini, hambatan tarif diharapkan dapat terhapus sehingga produk sawit dan turunannya bisa lebih kompetitif di pasar Eropa.
Kendati demikian, Eddy mengingatkan, keberlanjutan ekspor sawit ke Eropa masih akan ditentukan oleh kepatuhan Indonesia terhadap Undang-undang Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
“Untuk ekspor minyak sawit (ke Eropa) baru akan meningkat bila kita mematuhi aturan itu. Pemerintah perlu memberi perhatian agar ekspor Indonesia tidak terhambat dengan regulasi ini,” ujarnya.
RI Desak Eropa Cabut Aturan Bea Masuk
Dalam keterangan resmi yang disiarkan Senin, Menteri Perdagangan Budi Santoso mendesak Uni Eropa segera mencabut aturan bea masuk imbalan terhadap produk biodiesel Indonesia. Pemerintah Indonesia kini tengah mengupayakan agar tidak terjadi diskriminasi dalam penerapan regulasi UE.
“Kemenangan tersebut membuktikan Indonesia konsisten mengikuti aturan perdagangan internasional tanpa memberlakukan kebijakan yang distortif sebagaimana dituduhkan oleh UE,” katanya.
Langkah diplomasi juga akan terus ditempuh untuk memastikan kebijakan perdagangan Eropa tidak menghambat produk sawit nasional. Sebelumnya, Budi mengatakan, UE memberi sinyal untuk merelaksasi kebijakan antideforestasi lantaran Indonesia dipandang sebagai mitra dagang yang strategis.
“Kita menyelesaikan IEU-CEPA, (regulasi) yang lain itu sebenarnya sudah mulai soft. Artinya, sudah mulai melunak karena mereka juga tentu ingin bermitra dengan kita ke depannya,” kata Budi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengapresiasi putusan WTO yang dinilai memperkuat posisi Indonesia. Menurut dia, panel WTO telah mendukung sejumlah klaim utama Indonesia dalam sengketa atas pengenaan bea masuk imbalan oleh Uni Eropa.
Ia menambahkan, Uni Eropa merupakan pasar penting bagi produk minyak sawit dan biodiesel Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah akan menyiapkan langkah implementasi yang terukur untuk mengawal putusan WTO sekaligus memastikan IEU-CEPA memberikan manfaat optimal bagi ekspor.
“Keputusan WTO menjadi katalisator bagi perkembangan komoditas andalan ekspor Indonesia. Ke depan, pemerintah berkomitmen terus mengawal keputusan tersebut dengan pendekatan yang solutif,” ujarnya. (REL)