JAKARTA – Bukan sekali dua kali Uni Eropa berusaha menghadang minyak kelapa sawit dari Indonesia agar tidak menjadi ancaman serius bagi minyak nabati yang dihasilkan masyarakat Uni Eropa seperti minyak bunga matahari, kedelai, dan zaitun. Kali ini, Uni Eropa menggunakan Undang-Undang Antideforestasi (EU Deforestation Regulation/ EUDR) sebagai senjata.
Keputusan Uni Eropa memberlakukan EUDR sejak Mei 2023 ini mendapatkan reaksi keras dari Indonesia dan Malaysia. Dua negara produsen minyak sawit terbesar dunia ini tentu keberatan dengan perlakuan ini. Secara tradisional, Uni Eropa adalah pasar tradisional untuk ekspor CPO Indonesia. Porsinya cukup besar, rata-rata 4-5 juta ton per tahun.
“EUDR memang jadi hambatan perdagangan,” kata Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di Jakarta, (24/5/23). EUDR sebagai hambatan juga sudah disuarakan Presiden Jokowi sampai Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dipertemuan negara-negara produsen minyak sawit: CPOPC di Kuala Lumpur.
Sebagai komandan para pebisnis kelapa sawit, Eddy Martono hadir dalam pertemuan di Kuala Lumpur itu. Termasuk ikut merencanakan misi bersama (joint mission) Indoensia-Malaysia ke Brussel, markas besar Uni Eropa. “GAPKI hadir di Kuala Lumpur. GAPKI mendukung langkah pemerintah,” katanya.
Bagi Indonesia, EUDR tidak hanya mengancam komoditas minyak kelapa sawit. Komoditas lain seperti kopi, karet, kakao, dan produk pertanian lain bisa kena imbasnya. Alasan Uni Eropa tidak ada lain kecuali bilang komoditas pertanian dan perkebunan itu hasil membabat hutan. Padahal, fakta di lapangan tidak seperti yang dipaparkan Unit Eropa.
Menurut Eddy Martono, alasan Uni Eropa itu kurang sejalan dengan fakta lapangan. Indonesia sudah melakukan moratorium total pembukaan hutan sejak 2019 melalui Instruksi Presiden No. 5/2019. “Jadi sudah tidak ada pembukaan lahan untuk perusahaan,” katanya. Karena itu, GAPKI mendukung langkah pemerintah bernegosiasi dan memaparkan fakta yang sebenarnya.
Sejauh ini negosiasi dan pemaparan fakta lapangan dianggap solusi yang paling mungkin untuk ditempuh. Opsi menggunakan mekanisme sengketa lewat organisasi perdagangan dunia (WTO) belum disinggung. “Untuk saat ini cara pendekatan ke Uni Eropa dan menyampaikan keberatan yang kita pilih,” katanya. (MAP)