JAKARTA – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono merespon positif peluncuran Bursa CPO yang bersifat sukarela (voluntary). Karena bersifat voluntary, Eddy Martono berharap tidak ada aturan-aturan lain yang memberatkan eksporter.
“Kalau itu bersifat voluntary, kami mensupport penuh pembentukan Bursa CPO ini. Tak ada masalah bagi kami. Namun kami juga berharap dalam aturannya nanti juga tidak ada yang memberatkan bagi eksporter,” kata Eddy Martono ketika dihubungi SAWITKITA saat masih berada di Jepang, Rabu (11/10/2023).
Eddy mengungkapkan, GAPKI keberatan kalau Bursa CPO itu bersifat wajib (mandatory). Sebab jika ekspor diwajibkan melalui Bursa CPO akan merusak mekanisme pasar yang sudah terbentuk.
Karena di dunia ini, kata Eddy Maratono, tidak ada bursa yang bersifat mandatory, semuanya voluntary. “Dan itu kita melihat negara-negara itu sama, jadi kami tidak ada masalah dengan Bursa CPO, tetapi yang penting jangan sampai terjadi mandatory,” katanya.
Eddy Martono juga mengatakan, para pengusaha mempertimbangkan biaya mandatory bursa yang dianggap berisiko terhadap harga CPO. Hal itu dinilai bakal membuat harga CPO Indonesia tidak lagi kompetitif. “Ini akan membuat pembeli berpindah ke negara produsen lain,” ujar Eddy.
Adapun, pertimbangan harga akan menjadi lebih mahal lantaran saat harga referensi CPO menjauhi threshold (ambang batas) USD680 per ton, pemerintah menetapkan pungutan ekspor (PE) sebesar USD85 per ton dan bea keluar (BK) sebesar USD33 per ton, seperti yang terjadi pada periode Agustus lalu. Menurut dia, adanya biaya mandatory bursa hanya akan menambah beban pelaku usaha. (SDR)