JAKARTA – Pengembangan hilirisasi kelapa sawit di dalam negeri masih perlu ditingkatkan. Pasalnya hilirisasi industri berbasis kelapa sawit di negeri ini masih di level medium untuk refined oil (minyak olahan).
Sementara, beberapa hilirisasi lanjutan seperti biodiesel masih terbatas, apalagi yang berkaitan dengan oleochemical. “Mengutip hasil penelitian, hilirisasi sawit di negara kita saat ini baru 20-30% dari potensi yang ada,” kata Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Moeldoko dalam Special Dialogue, ‘Menata Masa Depan Kelapa Sawit Indonesia’ di Jakarta, Kamis (16/11/2023).
Menurut Moeldoko, untuk dapat mengembangkan potensi industri sawit ke depan, ada tiga tantangan yang harus kita jawab bersama. Pertama, masih rendahnya produktivitas sawit rakyat.
Kedua, berkaitan dengan status lahan sawit karena petani masih banyak yang masuk kawasan hutan. Ketiga, keberlanjutan usaha. “Ketiga hal ini harus jadi atensi kita semua,” katanya.
Di sisi lain, kata Moeldoko yang juga Kepala Staf Kepresidenan Indonesia ini, pemerintah melakukan penguatan hilirisasi sawit melalui program mandatori biodiesel yang telah dimulai sejak 2015. Mulai dari B15, B20, B30, dan saat ini menuju B35.
“Ke depannya Indonesia akan menerapkan B40, B50, hingga B100 dengan komposisi biodiesel fame dan green fuel yang merupakan produk hilir tingkat lanjut dari minyak sawit untuk bahan bakar terbarukan,” ungkap Moeldoko.
Indonesia, lanjutnya, sedang berencana mengembangkan pelet bungkil kelapa sawit sebagai bahan bakar dari limbah. “Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan bauran energi terbarukan biomassa untuk mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. Itu adalah beberapa hal yang sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah dalam menata masa depan kelapa sawit Indonesia,” ujar Moeldoko.
Oleokimia Potensial untuk Dikembangkan
Di kesempatan terpisah, Kepala Divisi Teknologi Proses, Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB University Erliza Hambali menyatakan hilirisasi industri kelapa sawit adalah proses pengolahan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO dan minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO) menjadi produk-produk bernilai tambah lebih tinggi, baik untuk tujuan ekspor maupun untuk substitusi produk impor.
“Ada tiga kelompok besar produk hilir kelapa sawit, yaitu oleo pangan, oleokimia, dan biofuel,” ujarnya di Balikpapan, Selasa (7/11/2023). Sebagaimana diketahui, oleo pangan adalah produk pangan yang berasal dari minyak kelapa sawit, seperti minyak goreng, margarin, shortening, dan ghee.
Sedangkan, oleokimia adalah produk kimia yang berasal dari minyak kelapa sawit, seperti surfaktan, sabun, deterjen, shampo, biolubricant, biomaterial, dan bioplastik. Kemudian, biofuel adalah bahan bakar nabati yang berasal dari minyak kelapa sawit, seperti biodiesel, bioethanol, dan biogas.
Erliza menyebutkan, salah satu produk hilir kelapa sawit yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia adalah oleokimia. Oleokimia merupakan industri yang mengubah minyak kelapa sawit menjadi bahan baku untuk berbagai produk kebutuhan sehari-hari, seperti kosmetik, farmasi, kesehatan, dan pertanian.
“Oleokimia juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk impor yang berasal dari minyak bumi, seperti plastik dan pelumas,” kata Erliza.
Menurut Erliza, oleokimia juga memiliki dampak positif bagi lingkungan, karena produk-produknya lebih ramah lingkungan dan biodegradable. Minyak kelapa sawit hingga saat ini masih menjadi salah satu komoditas andalan Indonesia dalam menambah devisa negara.
Berdasarkan data Ditjenbun (2022), luas areal kelapa sawit pada 2022 mencapai 15,38 juta hektare (ha) dengan total produksi CPO Indonesia mencapai 48,24 juta ton dan produksi PKO sebesar 9,65 juta ton. (SDR)