JAKARTA – Pemerintah Indonesia melalui Gugus Tugas Ad Hoc (Ad Hoc Joint Task Force/AHJTF) terus berkomunikasi dengan Uni Eropa (UE) agar syarat dan ketentuan dalam European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) lebih diperlonggar.
Terdapat lima klausul yang dibahas dalam AHJTF yang dibentuk oleh RI, Malaysia, dan UE tersebut. Kelima klausul tersebut yakni inklusivitas petani kecil, keberlanjutan (sustainability), benchmarking, ketertelusuran (traceability), dan kerahasiaan data. AHJTF akan melakukan pertemuan pada 2 Februari 2024 mendatang.
Menurut Ketua Forum Pejabat Senior Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Musdhalifah Machmud, Indonesia mencoba mencari solusi atas dampak EUDR dengan membentuk AHJTF on EUDR bersama Malaysia dan UE. Adapun sekretariatnya ada di CPOPC.
“Untuk EUDR, kami punya AHJTF on EUDR dan saya PIC (person in charge) Indonesia. Kita bersama Malaysia. Yang kita kupas itu isi EUDR untuk mendapatkan solusi apa yang bisa kita usulkan (ke UE). Ada lima pekerjaan yang kita bahas dan tindak lanjuti. Nanti 2 Februari 2024, kita akan lakukan pertemuan. Kalau ada masukan soal solusi EUDR silahkan,” ungkap Musdhalifah saat Refleksi Industri Sawit 2023 dan Tantangan Masa Depan: Mau Dibawa ke Mana Sawit Kita? yang digelar Rumah Sawit Indonesia (RSI), Rabu (10/01/2024).
Musdhalifah merinci lima hal yang dibahas dalam AHJTF on EUDR tersebut, pertama, inklusivitas petani kecil (smallholder). Indonesia dan Malaysia, termasuk negara produsen sawit lainnya, tidak ingin petani kecil terpinggirkan karena adanya EUDR dan akan berupaya melawan apabila itu terjadi.
Kedua, keberlanjutan (sustainability). Hal itu mengingat UE melalui EUDR tidak mengakui semua sertifikasi keberlanjutan di negara-negara produsen sawit. Untuk uji tuntas (due diligence) sendiri, mereka mau mengakui sertifikat sustainability yang sudah diakui peraturan di negara tersebut sebagai sustainability yang diakomodir.
“Ketiga, benchmarking. UE akan membagi negara menjadi kelompok high risk, low risk, dan standard risk dari sisi deforestasi,” papar Musdhalifah.
Pembahasan keempat menyangkut ketertelusuran (traceability), rantai pasok (supply chain) dari minyak sawit. Pelaku industri menyebutkan, untuk satu kontainer minyak sawit butuh 1,2 juta dokumen agar petani kecil bisa memenuhi aspek traceability.
“Itu adalah sesuatu yang impossible kalau kita kerjakan. Hal inilah yang perlu kita komunikasikan dengan UE melalui AHJTF,” jelas Musdhalifah.
Sedangkan klausul kelima menyangkut kerahasiaan data. “Untuk aspek traceability mungkin (data) kita bisa penuhi, tapi data sumber daya alam itu rahasia negara. Ini yang akan kita komunikasikan dan tindak lanjuti,” jelas dia.
Kick-off meeting AHJTF on EUDR pertama kali digelar di Jakarta pada 4 Agustus 2023 setelah RI dan Malaysia melakukan joint mission bersama ke Brussels pada 30-31 Mei 2023. (SDR)