JAKARTA – Pemerintah diminta fleksibel dalam menerapkan kebijakan mandatori biodiesel berbasis minyak sawit. Fleksibilitas ini terutama berpatokan pada dua indikator, yakni harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan harga minyak bumi dunia.
Rumusnya, apabila harga CPO naik, maka blending atau campuran biodiesel berbasis minyak sawit ke dalam solar diturunkan. Sebaliknya, jika harga CPO turun, maka blending biodiesel ke dalam solar hendaknya dinaikkan.
Pun demikian apabila harga minyak bumi dunia mengalami kenaikan, maka inilah waktu yang pas untuk menaikkan blending biodiesel ke dalam solar. Sebaliknya, jika harga minyak dunia mengalami penurunan, maka blending biodiesel perlu diturunkan.
Baca Juga: B50 harus Jaga Kebutuhan Domestik, Ekspor dan Kesejahteraan Petani
Ringkasnya, apabila harga CPO jauh di atas harga minyak dunia, maka kebijakan yang pas adalah menurunkan blending biodiesel ke dalam solar. Sebaliknya, apabila harga CPO jauh di bawah harga minyak dunia, maka pemerintah hendaknya menaikkan blending biodiesel ke dalam solar.
Kita perlu berpatokan pada rumus tersebut mengingat Indonesia merupakan produsen CPO dunia, namun di sisi lain Indonesia merupakan negara importer minyak bumi. Kajian Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (Pranata UI) menyatakan fleksibilitas kebijakan yang terukur ini menjaga keseimbangan antara kebutuhan CPO domestik, CPO untuk ekspor, dan stabilitas harga energi.
Dalam kajiannya, Pranata UI menyebutkan tiga negara yang menerapkan kebijakan mandatori energi. Negara tetangga Malaysia saat ini menerapkan B20. Negeri Jiran tersebut memberikan subsidi terbatas, hanya pada konsumen tertentu dan konsumen di wilayah tertentu.
Baca Juga: B50 Bisa Jadi “Genta Kematian” Industri Sawit Indonesia
Negara Thailand menyesuaikan dengan harga minyak bumi dunia. Jika harga solar turun, campuran minyak nabati dikurangi dan sebaliknya.
Sementara Brasil menyesuaikan dengan harga minyak nabati (kedelai). Apabila harga minyak nabati tinggi, maka persentase diturunkan, dan sebaliknya dinaikkan bila harga rendah.
Fleksibilitas yang terukur ini, kata Pranata UI, harus didukung data pasar yang akurat dan real time. “Selain itu juga adanya teknologi monitoring yang sesuai dengan keadaan, dan koordinasi yang baik antar sektor.”
Gerus Neraca Perdagangan Rp18,15 Triliun
Pranata UI juga mengingatkan pemerintah agar tak gegabah menaikkan mandatori biodiesel berbasis minyak sawit dari yang berlaku saat ini 40% (B40) menjadi 50% (B50) pada 2026 mendatang. Kenaikan mandatori beresiko terhadap keseimbangan neraca perdagangan, harga minyak goreng, stabilitas harga tandan buah segar (TBS), serta keberlanjutan fiskal Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi implementasi B40 berpotensi menghemat devisa dari impor minyak solar sebesar Rp147,5 triliun. Sementara jika dinaikkan menjadi B50 akan menghemat Rp172,35 triliun.
Dari parameter tersebut, kenaikan mandatori dari B40 menjadi B50 memang terlihat berdampak positif pada penghematan devisa negara. Namun jika dilihat dari potensi devisa ekspor CPO, terlihat sebaliknya.
Baca Juga: BRIN Beberkan Tantangan Mandatori Biodiesel dari B40 ke B50
Volume ekspor CPO tahun ini diperkirakan sebesar 27,34 juta ton atau sekitar 51% dari total produksi 49,5 juta ton sebagaimana diprediksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Dengan volume ekspor sebesar itu, maka nilai ekspor yang didapatkan sekitar Rp796,37 triliun.
Ironisnya, pada 2026 mendatang berbagai kalangan memprediksi tidak akan terjadi kenaikan produksi. Jika mengacu pada angka produksi sama dengan tahun 2025, maka volume ekspor pada 2026 akan sebanyak 20,8 juta ton dengan nilai ekspor turun menjadi Rp605,87 triliun. Penurunan volume ekspor ini dipicu oleh tambahan penggunaan CPO di dalam negeri untuk dijadikan bahan baku biodiesel.
Sehingga dengan demikian terjadi penurunan nilai ekspor CPO sebesar Rp190,504 trilun. Apabila dibandingkan dengan potensi penghematan devisa dari importasi solar sebesar Rp172,35 triliun, maka akan terdapat selisih angka Rp-18,15 triliun.
“Jadi jika pemerintah tetap mengimplementasikan B50 pada tahun depan, maka akan terjadi pengurangan devisa dari komoditas sawit sekitar Rp18,15 triliun,” ujar Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan peneliti sawit Eugenia Mardanugraha ketika dihubungi SAWITKITA, Senin (20/10/2025).
Penerapan B50 juga berpotensi berdampak negatif kesejahteraan petani sawit. Menurut kajian Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (Pranata UI), kebutuhan CPO untuk B40 sekitar 14.200.000 kilo liter (KL) dan untuk B50 sebesar 18.690.000 KL. Dengan demikian dibutuhkan tambahan CPO sebanyak 4.490.000 KL.
Baca Juga: Implementasi B50 Perlu Tambahan Lahan Sawit 2,3 Juta Ha
Implementasi mandatori biodiesel B50 membutuhkan dana subsidi yang lebih besar seiring meningkatnya volume minyak sawit yang digunakan dalam pencampuran bahan bakar nabati.
Apabila volume ekspor turun, maka tarif Pungutan Ekspor (PE) perlu dinaikkan agar dana yang dikumpulkan melalui mekanisme pungutan ekspor tetap mampu menutup kebutuhan subsidi biodiesel.
Saat ini PE ditetapkan sebesar 10%. Jika B50 diterapkan, maka untuk menutupi besaran subsidi biodiesel diperlukan kenaikan PE menjadi 15,17%. Ironisnya, kenaikan pungutan ekspor dapat menekan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani karena biaya ekspor produk turunan sawit (seperti CPO) menjadi lebih mahal.
Pranata UI menjelaskan bahwa kenaikan Pungutan Ekspor CPO sebesar 5,17% (dari 10% yang berlaku saat ini dan 15,17% asumsi di 2026) akan memicu kenaikan biaya ekspor. “Eksporter menanggung tambahan biaya,” katanya.
Lantaran adanya tambahan biaya tersebut, maka harga CPO akan ditekan sehingga akan berdampak ke pasar domestik maupun ekspor. Di pasar domestik, karena harga CPO tertekan, maka akan berdampak negatif pada penurunan harga TBS.
Menurut perhitungan Pranata UI, setiap kenaikan PE sebesar 1% akan menekan harga TBS sebesar Rp333,67 untuk setiap kilogramnya. Jadi apabila terjadi kenaikan PE CPO sebesar 5,17%, maka harga TBS berpotensi turun Rp1.725 per kg.
“Inilah kenapa kenaikan mandatori biodiesel dari B40 menjadi B50 justru menyebabkan kesejahteraan petani sawit menurun, terutama pada petani swadaya,” katanya.
Jadi kata Eugenia Mardanugraha, secara ekonomi makro, penerapan B50 justru kontra produktif dengan perekonomian nasional. Kenapa demikian? Karena nilai ekspor dari sawit akan turun.
Selain nilai ekspor turun, lanjut Eugenia Mardanugraha, investasi di sawit tidak ada. “Dampaknya, produksi minyak sawit stagnan bahkan cenderung turun kalau dana BPDP habis untuk subsidi B50 dan tidak ada replanting,” katanya.
Karena itu, kata Eugenia Mardanugraha, idealnya kebijakan mandatori biodiesel berbasis sawit hendaknya fleksibel dan tidak dipaksakan. “Jadi, campuran CPO dinaikkan saat harga rendah dan diturunkan saat harga tinggi,” paparnya. (SDR)