BALIKPAPAN – Kalimantan Timur (Kaltim) berambisi meningkatkan posisinya dari peringkat keenam menjadi pesaing utama Riau dalam produksi Crude Palm Oil (CPO) nasional. Langkah ini ditempuh melalui strategi intensifikasi dan percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
“Berdasarkan data terakhir, Kaltim memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekitar 1,48-1,57 juta hektare (ha), menempatkan provinsi ini pada peringkat keempat secara nasional dalam luas lahan,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Timur Rachmat Perdana Angga dalam keterangan resmi, Senin (25/8/2025).
Dia menambahkan, dari aspek produksi CPO, Kaltim tertahan di peringkat keenam dengan volume 4,2 hingga 4,6 juta ton per tahun. Sementara itu, Riau memimpin dengan menguasai 3,4 juta ha dan menghasilkan 9,2 juta ton CPO secara tahunan.
Baca Juga: Disbun Kaltim Imbau Petani Sawit Bermitra dengan Pabrik CPO
Angga menyebutkan, dari 263 Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan luas 2,25 juta ha yang tercatat di Dinas Perkebunan Kaltim, sebagian besar lahan belum semuanya ditanami sawit. “Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lahan dengan izin belum semuanya digunakan untuk penanaman sawit,” katanya.
Kendati demikian, Angga mengungkapkan pihaknya menerapkan dua pendekatan guna menghadapi keterbatasan ekspansi akibat moratorium izin baru dan komitmen keberlanjutan. Di satu sisi, optimalisasi lahan berizin yang belum termanfaatkan (ekstensifikasi terbatas) menjadi prioritas utama.
Sementara itu di sisi lain, intensifikasi melalui replanting, penggunaan bibit unggul, praktik agronomi modern, dan efisiensi rantai pasok diperkuat secara masif. Lebih lanjut, skema pendanaan PSR dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) telah tersedia dan perlu dimaksimalkan untuk mempercepat program peremajaan tanaman.
Baca Juga: Gubernur Kaltim: Sawit untuk Kemakmuran Rakyat
Faktanya, beberapa faktor krusial menyebabkan produktivitas Kaltim stagnan. Pertama, komposisi usia tanaman yang belum menghasilkan relatif tinggi dibandingkan provinsi lain. Kedua, banyak tanaman produktif telah melampaui usia optimal (lebih dari 25 tahun).
Dia menjelaskan, struktur kepemilikan juga berpengaruh signifikan, porsi kebun rakyat yang cukup tinggi dengan akses terbatas pada modal, teknologi, dan bibit unggul menjadi tantangan tersendiri. Akibatnya, sebagian lahan menggunakan material genetik suboptimal dengan praktik agronomi yang belum merata dalam hal perawatan, pemupukan presisi, pengendalian hama penyakit, dan ketepatan waktu panen.
Tidak kalah penting, Angga mengatakan kendala infrastruktur berupa jarak angkut dan kualitas dapat menurunkan rendemen produksi CPO. Selain itu, realisasi PSR yang belum merata akibat hambatan administratif turut memperlambat proses replanting.
Baca Juga: Ekspansi Usaha, MP Evans Akuisisi Dua Perusahaan Sawit di Kaltim
Lebih lanjut, Angga memaparkan pihaknya tengah berupaya mengimplementasikan program komprehensif untuk pekebun dan perusahaan anggota. Untuk petani, fokus diarahkan pada percepatan PSR pekebun swadaya melalui percepatan administrasi dan pendampingan oleh perusahaan anggota GAPKI.
Selain itu, pelatihan lapangan intensif mencakup pemupukan presisi, manajemen hama, pencatatan panen, dan rekomendasi pupuk berbasis uji tanah dan daun. Sementara itu, untuk perusahaan anggota, GAPKI menyediakan coaching clinic dan peningkatan kapasitas meliputi perbaikan rantai pasok.
Kemudian, infrastruktur jalan kebun, handling FFB, efisiensi mill, dan sertifikasi ISPO untuk memperluas akses pasar dan memenuhi standar keberlanjutan. “Dengan fokus pada intensifikasi, percepatan PSR, dan penguatan kapasitas pekebun, Kaltim memiliki peluang besar untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing CPO di pasar global,” ujar dia.
Namun, dia mengakui bahwa target menyalip Riau dalam jangka pendek belum realistis mengingat keunggulan historis dan struktur industri sawit Riau yang sudah lebih matang. Adapun dalam perspektif jangka panjang 5 sampai dengan 10 tahun ke depan, target ambisius tersebut tetap memungkinkan tercapai.
“Syaratnya, semua komponen pendukung berupa regulasi, investasi, pendampingan petani, serta penguatan infrastruktur harus dikonsolidasikan secara terpadu dan berkelanjutan,” katanya. (REL)