JAKARTA – Sejumlah kalangan menilai keberlanjutan program biodesel sebagai bahan bakar nabati yang dicanangkan pemerintah memerlukan penanganan masalah di sektor hulu sawit. Pasalnya, keberlanjutan program biodiesel sangat bergantung pada bahan baku.
Hal itu dikemukakan oleh Head of Sustainability Division Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Rapolo Hutabarat dalam Focus Group Discussion (FGD) bertemakan “Biodiesel untuk Negeri” di Jakarta, Jumat (19/7/2024).
Rapolo menegaskan penanganan masalah di sektor hulu sawit merupakan kunci keberlanjutan program biodiesel, karena menyangkut ketersediaan bahan baku. “Permasalahan ini memang harus segera diselesaikan, terutama dari sisi hulu. Kita tahu bahwa banyak yang harus dikerjakan di sektor hulu, terutama karena inilah yang menentukan ada tidak bahan bakunya,” katanya.
Menurut dia, keberlanjutan program blending biofuel, seperti B40 dan kemungkinan peningkatan lebih lanjut ke B45 atau B50 sangat penting. Namun demikian, lanjutnya, keberhasilan program-program tersebut sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku di sektor hulu.
“Pandangan kami bahwa bahan baku itu menjadi salah satu kunci untuk dilakukan hilirisasi, baik dari sisi hilirisasi pangan, energi, dan kebutuhan lainnya untuk oleokimia,” ujar Rapolo.
Dikatakannya, Aprobi berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahan di sektor hulu agar Indonesia dapat mencapai cita-cita besar dalam industri sawit, termasuk target produksi CPO sebesar 100 juta ton pada tahun 2045.
“Kami sangat mendukung program dari pemerintah kebijakan dari kementerian dan lembaga terkait,” katanya.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit
Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino menambahkan perlunya peningkatan produktivitas melalui langkah-langkah pembenahan sektor hulu.
Menurut dia, terdapat beberapa tantangan dalam peningkatan produktivitas sawit di antaranya legalitas lahan yang mana saat ini sekitar 3,4 juta hectare (ha) lahan sawit tervonis dalam kawasan hutan dan terancam hilang.
Kemudian, lanjutnya, realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang masih di bawah 10% dari target atau 390.000 ha dari 2,4 juta ha yang ditetapkan.
Sementara Kepala Divisi Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Achmad Mulizal Sutawijaya meminta mahasiswa bisa menjadi ambassador atau juru bicara dalam menyampaikan informasi positif sawit. “Ini karena mereka generasi milenial ini sangat cepat menyebarkan informasi pada sesama mereka,” ujarnya.
Menurut dia, kegiatan penyebaran informasi positif tentang sawit perlu terus digiatkan karena hal itu sangat efektif melawan kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia.
Senada dengan itu Pelaksana Fungsi Perencanaan Pemasaran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bina Restituta Barus menyampaikan bahwa sawit merupakan anugerah terbesar kepada bangsa Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk masa depan.
“Sawit ini adalah emas, bahkan banyak negara lain juga yang melirik penggunaan sawit, kita melihat dari pembicaraan tentang sawit dari hulu-hilir bahwa sawit itu bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya,” katanya.
Menurut dia, para mahasiswa, sebagai pemegang masa depan industri sawit bisa berkarya di sawit mulai dari mengembangkan di sisi pertanian, teknologinya, sampai dengan di sisi penjualannya.
“Jangan lupa bahwa sawit ini adalah anugerah yang bisa teman-teman mahasiswa gunakan untuk modal di masa depan, mengembangkan teknologi, bagaimana upayakan sawit supaya bermanfaat untuk dunia,” katanya. (ANG)