JAKARTA – Program mandatori biodiesel yang dilaksanakan pemerintah cukup sukses. Kebijakan pencampuran energi fosil dengan minyak sawit yang telah mencapai bauran hingga 35% ini terbukti membawa manfaat ganda.
Manfaat tersebut, di antaranya penghematan anggaran karena berkurangnya beban impor minyak bumi dan mendukung penurunan emisi gas rumah kaca melalui penggunaan bahan bakar nabati yang ramah lingkungan.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal (Ditjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo menyampaikan, bahan bakar nabati berbasis sawit adalah yang paling rendah emisi.
Baca Juga: Ini Dia Sembilan Jenis Bantuan Sarpras bagi Petani Sawit
“Untuk saat ini, secara keekonomian dan produktivitas bahan bakar nabati berbasis sawit adalah yang paling reliable dan rendah emisi,” kata Edi melalui keterangan persnya.
Adapun Grand Strategi Energi Nasional hingga 2040 berupa pemanfaatan biofuel ditargetkan mencapai sebesar 15,2 juta kiloliter (KL). Dari angka tersebut, biodiesel ditargetkan mencapai 11,7 juta KL.
Di samping itu, pemanfaatan biofuel sebagian besar akan berbasis crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah, termasuk pemanfaatan green fuels, seperti green diesel, green gasoline, dan bioavtur.
Baca Juga: Lembaga Ini Sebar Ratusan Miliar Beasiswa, Kuotanya 3.000 Orang
Hal ini disebabkan karena potensi CPO yang sangat besar dan karakteristiknya yang mirip dengan bahan bakar berbasis fosil. Pengembangan energi baru dan terbarukan ini menjadi relevan bukan hanya karena Indonesia adalah produsen CPO terbesar dunia, tetapi juga karena karakteristik dari kelapa sawit yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku energi terbarukan.
Bahkan, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyimpulkan, dibandingkan minyak nabati lain, minyak sawit adalah minyak yang paling memungkinkan diolah menjadi energi.
Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN Yudhistira Nugraha mengatakan, hasil penelitian dan pengukuran yang dilakukan oleh tim energi terbarukan BRIN menunjukkan bahwa minyak sawit merupakan bahan yang paling memungkinkan untuk dikembangkan.
Ada tiga faktor yang menjadikan minyak sawit potensial, yaitu kesiapan bahan baku; kesiapan teknologi dan hilirisasi; serta kebijakan pemerintah baik dari segi insentif, pendanaan, dan investasi.
Baca Juga: Biar Riset Sawit Aplikatif, Ini yang Dilakukan BPDPKS
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menegaskan, kebijakan pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati sudah on the right track.
Tungkot pun setuju jika basis penggunaan minyak sawit sebagai bioenergi bisa diperluas, tidak hanya biodiesel, tetapi juga menghasilkan produk energi lainnya seperti green fuel atau bioavtur.
“Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif memiliki manfaat yang besar bagi lingkungan dan ekonomi, seperti mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara, meningkatkan kemandirian energi nasional, serta mendorong pertumbuhan ekonomi lokal,” ucap Tungkot.
Menurutnya, untuk mencapai potensi penuh dari pengembangan biodiesel di Indonesia, diperlukan kerja sama antara pemerintah, produsen biodiesel, serta masyarakat dalam mengatasi kendala-kendala yang masih ada. Selain itu, perlu diperkuat juga dengan regulasi dan kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan.
Tungkot menilai kelapa sawit menjadi “lumbung” energi terbarukan. Terdapat berbagai faktor yang memperkuat kelapa sawit sebagai salah satu sumber energi terbarukan terbaik. Keunggulan pertama yang dimiliki adalah berlimpahnya kelapa sawit di Indonesia.
Tungkot juga menyatakan bahwa produksi minyak sawit di Indonesia tergolong stabil. Selain itu, berbagai keunggulan sawit sebagai sumber energi terbarukan di antaranya adalah harga bahan baku yang kompetitif, hemat lahan dan deforestasi, sawit sebagai bahan dasar biodiesel hemat polusi tanah, dan sudah tersertifikasi sustainable. “Kebun sawit sangat efisien untuk dimanfaatkan untuk diolah menjadi sumber energi karena banyak menyerap oksigen,” ujar Tungkot.
Baca Juga: Biomassa Sawit, Sumber Energi Terbarukan
Terkait Energi Baru Terbarukan (EBT), Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Ditjen EBTKE, Andriah Feby Misna menjelaskan bahwa Indonesia menargetkan EBT memegang 25% porsi dari total sumber energi yang dipakai di Indonesia pada 2025.
Berbagai strategi telah disiapkan untuk mempercepat perkembangan EBT. Mulai dari substitusi energi final, konservasi energi primer fosil, penambahan kapasitas EBT, dan pemanfaatan EBT nonlistrik. (SDR)