JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) masih menggodok aturan soal kebijakan ekspor minyak sawit (crude palm oil/CPO) melalui bursa berjangka di Indonesia. Kemendag menyatakan tidak akan ada perubahan yang signifikan dalam alur bisnis proses dari kebijakan ekspor CPO melalui bursa berjangka.
Hal itu dikatakan Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Ditjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Amir Farid dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/6/2023). Namun, kata Farid, ada penambahan satu proses sebelum eksportir melakukan ekspor CPO, yaitu harus ditransaksikan di bursa berjangka untuk kemudian diterbitkan bukti pembelian CPO oleh bursa.
“Bukti pembelian ini adalah dokumen yang akan digunakan dalam pemrosesan Persetujuan Ekspor (PE),” kata Farid.
Dia menerangkan bahwa ekspor melalui bursa berjangka komoditi hanya akan mengatur CPO dengan HS 15111000, tidak termasuk produk turunannya. Hal ini dipilih karena CPO tersebut volumenya tidak terlalu besar dan dinilai tidak akan menimbulkan goncangan terlalu besar saat diimplementasikan.
“Selain itu, pihak-pihak yang berhak melakukan ekspor adalah Eksportir Terdaftar (ET) dan memiliki Hak Ekspor (HE) yang diperoleh dari pemenuhan atas kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan/atau dari pihak yang mengalihkan HE atas pemenuhan DMO,” jelas Farid.
Diketahui, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kemendag telah menggelar Konsultasi Publik Kebijakan Ekspor Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil/CPO) Melalui Bursa Berjangka di Indonesia, Senin (26/6). Sebelumnya, kegiatan serupa sempat digelar Senin (5/6) lalu yang dipimpin oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan.
Kegiatan dipimpin Sekretaris Bappebti Olvy Andrianita mewakili Plh Kepala Bappebti, serta diikuti pemangku kepentingan sektor kelapa sawit. Di antaranya pelaku usaha, asosiasi, dan perwakilan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
“Banyak masukan dan perhatian yang disampaikan pelaku usaha dalam kegiatan tersebut, sehingga kami kembali mengadakan konsultasi publik lanjutan untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif terkait rancangan kebijakan yang sedang disusun,” kata Plh Kepala Bappebti Isy Karim.
Isy Karim berharap ekspor CPO melalui bursa berjangka dapat menciptakan bank data CPO yang akurat. Ini juga sejalan dengan amanah Undang-Undang Nomor 32/1997 sebagaimana diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 10/2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK).
Kebijakan tersebut menegaskan salah satu tujuan PBK adalah sarana penciptaan harga (price discovery) dan pembentukan harga acuan (price reference) yang transparan. Hal ini pun ditegaskan oleh Menteri Perdagangan pada Rapat Kerja Bappebti dan Kementerian Perdagangan Tahun 2023.
Lebih lanjut, Isy Karim menyebut bursa CPO yang ditunjuk pemerintah harus terpercaya, baik di pasar domestik maupun internasional. Bursa CPO juga harus mampu memberikan layanan yang optimal kepada pelaku usaha.
Menurutnya, biaya transaksi CPO di bursa juga harus kompetitif atau minimal sama dengan biaya transaksi CPO yang dilakukan selama ini oleh pelaku usaha Indonesia di bursa Malaysia. Kebijakan ini diharapkan dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan kontrak jangka panjang (long term contract) dan mudah dalam pelaksanaannya. Ia pun mengatakan butuh pelatihan dan sosialisasi terkait tata cara serta mekanisme ekspor melalui bursa berjangka kepada pelaku usaha.
Sekretaris Bappebti Olvy Andrianita mengatakan Rancangan Peraturan Bappebti tentang Petunjuk Teknis Perdagangan Pasar Fisik untuk Ekspor CPO mengatur sejumlah hal. Beberapa di antaranya tata kelola bursa CPO dan lembaga kliring CPO, persyaratan perizinan bursa CPO dan lembaga kliring CPO, tata cara perdagangan di bursa CPO, mekanisme pengawasan oleh Bappebti dan bursa CPO, serta mekanisme penyelesaian perselisihan dan force majeur.
Sedangkan Peraturan Tata Tertib (PTT) ekspor CPO melalui bursa berjangka berisi ketentuan lebih teknis yang mencakup persyaratan dan tata cara penerimaan peserta penjual/peserta pembeli, hak dan kewajiban peserta penjual/peserta pembeli, biaya jaminan transaksi, mekanisme pengawasan, mekanisme penyerahan fisik CPO dan force majeur.
“Dalam prosesnya, ketiga kebijakan/ketentuan teknis tersebut harus komprehensif dan sinergis, sehingga perlu mendapatkan masukan dari para pemangku kepentingan. Kebijakan ekspor CPO juga harus selaras dengan kebijakan pemenuhan kebutuhan CPO dalam negeri, sehingga tidak memberatkan pelaku usaha,” papar Olvy.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan Juan Permata Adoe menekankan kebijakan-kebijakan yang dibuat harus dapat diterima oleh pelaku usaha. “Selain itu, diharapkan penghasilan devisa dari CPO ini dapat stabil. Sehingga, kebijakan ekspor CPO melalui bursa ini berdampak positif bagi industri,” kata Juan. (SDR)