JAKARTA – Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan bahwa salah satu penyebab kenaikan harga Minyakita adalah pemakaian minyak sawit untuk program biodiesel 40% (B40).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga pekan pertama Februari 2025, harga Minyakita tercatat Rp17.728 per liter, melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp15.700 per liter.
“Harga di pasar memang relatif naik. Kenapa? Ini sedikit akibat daripada pemakaian B40,” kata Sahat dalam Rakor SPHP Menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Puasa dan Idul fitri 2025 yang digelar secara virtual, Jakarta, Rabu (12/2/2025).
Baca Juga: HET MinyaKita Naik Jadi Rp15.700, Kemendag: Karena Permintaan CPO Dunia Turun
Menurut dia, meningkatnya penggunaan biodiesel menyebabkan pasar internasional memperkirakan pasokan minyak sawit akan terhambat, yang membuat permintaan pasar luar negeri sedikit menurun. Di sisi lain, pialang di pasar internasional menggunakan hal ini untuk menaikkan harga.
“Jadi, harga kita sekarang itu di pasar CPO sesuai dengan perkembangan pasar luar negeri, CPO sekarang itu naik kira-kira 5% dibandingkan dengan harga di Januari kemarin. Harga Januari itu Rp13.500, sekarang sudah Rp14.700,” ungkap dia.
Namun, meskipun harga Minyakita naik, Sahat menegaskan bahwa hal itu tidak menjadi masalah besar karena pasar domestik tetap terikat pada HET, yakni harga Rp15.700 per liter.
Baca Juga: Penerapan B40 Bisa Kurangi Emisi Karbon 41,46 Juta Ton
Terkait ketersediaan Minyakita selama Ramadan dan Puasa, Sahat menyebutkan bahwa ia telah meminta produsen untuk memastikan pasokan minyak goreng lancar di pasar, agar kelangkaan seperti yang terjadi pada tahun 2022 tidak terulang lagi.
“Tapi enggak perlu dikhawatirkan bahwa kita punya, kita sudah sampaikan kepada para produsen, jangan sampai terjadi awan hitam di tahun 2022. Oleh karena itu kita harapkan semua mereka untuk membanjiri pasar,” ungkap dia.
Menurutnya, kebutuhan Minyakita selama Lebaran sebenarnya tidak terlalu besar, diperkirakan sekitar 270.000 ton. “Rata-rata kebutuhan kita kan 240.000 ton, naik sekitar 5% menjadi 270.000 ton,” ujar Sahat.
Namun, ada beberapa daerah yang perlu diwaspadai terkait pasokan, seperti Aceh, Kalimantan Utara, dan wilayah Indonesia bagian Timur. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Si Mirah), pasokan di daerah-daerah tersebut mengalami masalah.
Oleh karena itu, Sahat mengusulkan kepada Kementerian Perdangan (Kemendag) untuk segera meninjau faktor pengali ekspor. “Kenapa? Kalau daerah yang jauh itu faktor pengali ekspornya kecil, orang cenderung tidak mengirim ke sana. Jadi ke pasar itu,” imbuh Sahat. (ANG)