JAKARTA – Industri kelapa sawit Indonesia masih harus menghadapi berbagai tantangan di 2024. Dari sisi ekonomi global, ketidakpastian masih membayangi pertumbuhan ekonomi global khususnya negara-negara maju.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan ada sejumlah tantangan yang dihadapi industri sawit paling selama setahun ke depan. Kondisi perekonomian di Amerika Serikat (AS) tetap harus diperhatikan secara seksama. “USA masih dilanda inflasi yang di atas target,” kata Eddy Martono.
Selanjutnya, China sebagai konsumen terbesar minyak sawit juga masih bergulat dengan pelemahan ekonomi pasca Covid-19. Begitu juga dengan Eropa di mana kondisi ekonominya melemah dengan defisit fiskal yang meningkat diiringi inflasi yang masih tinggi.
Sementara itu, eskalasi geopolitik global kian memanas. Di saat eskalasi laut hitam yang belum mereda akibat perang Rusia dan Ukraina yang juga memberikan dampak besar pada pasokan beberapa komoditas strategis di pasar global, kini dunia juga harus menghadapi eskalasi geopolitik di laut merah akibat perang Israel dan Palestina.
“Eskalasi Israel-Palestina juga diperkirakan dapat memberikan dampak besar terhadap pasokan komoditas mengingat laut merah merupakan jalur strategis perdagangan global,” katanya.
Melihat fakta-fakta tersebut, GAPKI memperkirakan prospek industri sawit tahun 2024 mempunyai kecenderungan konsumsi dalam negeri diperkirakan akan terus mengalami kenaikan. “Terutama untuk kebutuhan pangan, industri oleokimia dan kebutuhan energi (biodiesel) dengan adanya implementasi Biodiesel (B35) secara setahun penuh (fully implemented),” katanya.
Harga minyak nabati dunia termasuk minyak kelapa sawit, kata Eddy Martono, tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun 2023. Produksi diperkirakan akan stagnan. “Volume ekspor diperkirakan akan mengalami penurunan, terutama karena meningkatnya kebutuhan dalam negeri,” katanya.
Untuk memastikan peningkatan produksi dan menjamin dipenuhinya kebutuhan minyak sawit dalam negeri dan ekspor, maka beberapa upaya perlu dilakukan. Penyelesaian perkebunan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan.
“GAPKI terus mengusulkan bahwa bagi kebun sawit yang sudah memiliki alas hak baik itu SHM (sertifikat hal milik) maupun sertifikat HGU (hak guna usaha) semestinya sudah bukan kawasan hutan lagi,” ujar Eddy Martono.
Selanjutnya, penyelesaian pasal 110 B jangan sampai menyebabkan pengurangan areal yang signifikan yang akan berdampak kepada pengurangan produksi sawit.
Agar produksi bisa meningkat, maka program peremajaan sawit rakyay (PSR) dapat berjalan sesuai dengan target yakni 180.000 ha/tahun. “Hambatan yang masih ada harus dapat diselesaikan,” katanya.
Eddy Martono juga menyoroti soal tumpang tindih peraturan harus segera diselesaikan, khususnya peraturan terkait kewajiban FPKM (fasilitasi pembangunan kebun masyarakat) 20%, karena masih menimbulkan kekisruhan di lapangan.
Untuk jangka panjang, kata Eddy Martono, perlu dipertimbangkan kemungkinan dibangun kebun sawit untuk energi (dedicated area) khususnya pada kawasan yang sudah terdegradasi, sehingga kebutuhan minyak sawit untuk energi tidak mengganggu kebutuhan untuk pangan, industri dalam negeri dan ekspor. (SDR)