NUSA DUA – China salah satu pasar terbesar minyak sawit dunia, tengah mengalami perubahan struktur permintaan. Perusahaan-perusahaan besar di sana kini semakin mendorong penggunaan minyak sawit bersertifikat, terutama RSPO, meskipun belum menjadi aturan wajib pemerintah.
Hal ini disampaikan Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan dalam 21st Indonesia Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC 2025) di Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11/2025).
Perubahan preferensi tersebut, kata Fadhil, dipicu oleh tuntutan rantai pasok global dan kesadaran konsumen terhadap produk ramah lingkungan. Akibatnya, muncul dua segmen baru di pasar China: pembeli sensitif harga serta pembeli premium yang memprioritaskan produk bersertifikat.
Baca Juga: Produksi Sawit ASEAN Turun, B50 Jadi Penentu Pasar
Menurut Fadhil, sertifikasi menambah biaya sekitar USD10-15 per ton, namun memberi peluang bagi produsen yang mampu memenuhi standar tersebut. Ia menegaskan bahwa pengakuan lebih luas terhadap sistem sertifikasi dalam negeri seperti ISPO akan memperkuat hubungan dagang Indonesia-China.
Kinerja Ekspor Moncer
Pada kesempatan itu, Fadhil mengatakan bahwa industri kelapa sawit Indonesia menunjukkan kinerja solid sepanjang Januari-Agustus 2025. Produksi sawit nasional meningkat 13% dibanding periode yang sama tahun 2024, sementara konsumsi domestik naik 5%.
Namun demikian, Fadhil mencatat adanya ketidakseimbangan dalam pola ekspor. “Beberapa pasar utama seperti Uni Eropa dan India mengalami penurunan, mencerminkan pasar global yang semakin terfragmentasi akibat kebijakan, tarif, dan regulasi keberlanjutan,” ujar Fadhil.
Baca Juga: Dominasi Minyak Sawit di Pakistan Terancam, Ada Apa?
Fadhil menambahkan bahwa ekspor sawit Indonesia justru mengalami pemulihan signifikan, tumbuh 15% pada Januari-Agustus 2025. Penguatan ekspor terjadi terutama ke Rusia, Malaysia, dan Bangladesh.
Meski demikian, melemahnya ekspor ke Uni Eropa dan India tetap menjadi perhatian karena erat kaitannya dengan isu keberlanjutan dan regulasi deforestasi yang semakin ketat. “Industri sawit kini dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks. Selain dinamika pasar, standar keberlanjutan di negara tujuan makin menentukan akses pasar kita,” jelasnya. (SDR)

