JAKARTA – Ekspor CPO melalui bursa berjangka Indonesia harus bersifat voluntary (tidak mandatory), tidak bersifat fisik, dan tidak dikaitkan dengan kewajiban pemenuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO). Oleh karena itu, pengaturan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melalui bursa berjangka Indonesia hendaknya tidak mengintervensi pasar.
“Sehingga dengan demikian harga yang terbentuk di bursa sepenuhnya mencerminkan harga pasar yang dibentuk oleh supply dan demand. Dengan demikian bursa menjadi kredibel dan bisa sebagai rujukan pasar global,” ujar Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Diketahui, Rabu (23/8/2023) lalu Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Ditjen Daglu) Kemendag mengadakan konsultasi publik ekspor CPO melalui bursa berjangka di Auditorium Kemendag.
“Salah satu indikator bahwa bursa kredibel adalah menyerahkan kepada mekanisme pasar, termasuk preferensi penjual dan pembeli terhadap bursa tersebut. Jadi tidak lazim adanya kewajiban atau mandatory dalam praktek Bursa Berjangka,” kata Piter.
Karena itu, Piter Abdullah mengimbau ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) hendaknya tidak mengambil keputusan secara terburu-buru. Kebijakan mengatur ekspor CPO melalui bursa berjangka Indonesia hendaknya direncanakan secara matang didukung oleh research policy yang mendalam dari berbagai perspektif termasuk perspektif hukum.
“Pemerintah perlu melakukan public hearing melalui berbagai forum diskusi terbuka yang melibatkan pelaku usaha, akademisi, parlemen, dan tokoh-tokoh masyarakat,” kata Piter Abdullah.
Piter menilai rencana pemerintah mengatur agar ekspor CPO dilakukan melalui bursa berjangka Indonesia memiliki tujuan yang baik, yaitu mengukuhkan Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar, dan oleh karena itu menjadi rujukan harga di dunia.
Namun demikian tidak semua kebijakan yang bertujuan baik akan memunculkan hasil atau outcome yang juga baik, sebagaimana terbukti pada kebijakan intervensi harga dan larangan ekspor CPO pada tahun 2022.
“Kebijakan mengintervensi pasar tanpa perhitungan yang matang sebagaimana kebijakan intervensi harga minyak goreng dan larangan ekspor CPO pada awal tahun 2022 hendaknya menjadi pembelajaran berharga bagi pemerintah,” papar Piter.
Dia mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah mengintervensi harga minyak goreng pada awal tahun 2022 (menetapkan harga eceran tertinggi/HET) di tengah trend kenaikan harga CPO di pasar global yang kemudian diikuti dengan kebijakan larangan ekspor CPO telah menyebabkan guncangan besar di pasar minyak goreng.
“Sehingga akibat kebijakan itu terjadi kelangkaan supply, pasar gelap, serta kenaikan harga di atas harga HET yang kemudian berujung adanya gejolak sosial dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah,” ujarnya.
Kondisi semakin memburuk ketika kebijakan tersebut justru membuat anjloknya harga tandan buah segar (TBS) di tengah tingginya harga CPO. Gelombang protes sempat dilakukan oleh para petani kelapa sawit yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah.
“Permasalahan ketidaktepatan kebijakan pemerintah itu bahkan kemudian berujung kepada dipidananya pejabat tinggi Kemendag yang dianggap merugikan negara atau menguntungkan kelompok tertentu,” papar Piter.
Diketahui, dalam draft Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Tahun 2023 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil (CPO), Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil (RBDPO), Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein (RBDPL), Used Cooking Oil (UCO), dan Palm Oil Mill Effluent (POME) wajib melalui bursa berjangka. (SDR)