JAKARTA – Pemerintah memutuskan untuk menambah divisi pengelolaan dana kakao dan kelapa di dalam Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Konsep subsidi silang diterapkan untuk mendorong produksi komoditas kakao dan kelapa di Indonesia.
Hal ini disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) seusai rapat di istana kepresidenan mengenai usulan pembentukan badan pengelola dana untuk kakao dan kelapa.
“Tadi kita rapat mengenai kakao dan kelapa. Diusulkan untuk membuat badan. Tapi tadi sudah diputuskan badannya digabung dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), digabung ke situ,” kata Zulhas di Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Penambahan satu divisi di BPDPKS yaitu kakao dan kelapa bertujuan untuk subsidi silang dalam pengembangan bibit dan risetnya. “Jadi tidak perlu ada badan baru. Tapi badan yang digabungkan ke BPDPKS. Jadi sawit, kelapa, dan kakao kan mirip-mirip saja,” kata Zulhas.
Alasannya bila dibangun badan baru untuk pengelolaan dana kelapa dan kakao saja, maka iurannya akan membebani petani dan eksportir kelapa dan kakao di saat produksinya sedang turun.
“Itu petani rakyat dan sekarang lagi sunset turun produksinya. Jadi kalau badan sendiri dan dipunguti lagi kan tidak mungkin. Berat kan. Kalau di BPDPKS, dananya ada Rp50 triliun lebih. Jadi subsidi silang untuk pembibitan, riset dan segala macam mengenai kelapa dan dan kakao ini nanti digabungkan ke BPDPKS,” kata Zulhas.
Dengan demikian juga, tidak akan ada pungutan baru bagi eksportir kakao dan kelapa. “Jadi sudah ada tuh kakao apa namanya, pokoknya tidak ditambah lagi. Ada pungutan apa namanya saya lupa tadi, tapi tidak ditambah lagi. Tidak ada pungutan lagi,” kata Zulhas.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menginisiasi kelembagaan kakao dan kelapa untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri, menjaga kelangsungan industri dan daya saing serta meningkatkan nilai tambah.
Namun usulan pembentukan Badan Pengelola Dana Kakao dan Kelapa tersebut, tak disepakati dalam rapat terbatas (ratas) yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Ratas tersebut memutuskan pengelolaan kakao dan kelapa dilimpahkan kepada BPDPKS dengan membentuk dua kedeputian baru, yaitu Deputi Kakao dan Deputi Kelapa.
Selanjutnya, penghimpunan dana tetap dilakukan melalui skema pungutan ekspor yang dikelola langsung oleh BPDPKS. “BPDPKS sudah mempunyai dana besar yang bisa dipakai untuk sektor kakao dan kelapa sehingga bisa berjalan segera,” ujar Menperin.
Indonesia pernah menduduki peringkat ke tiga negara penghasil biji kakao hingga tahun 2015, namun saat ini berada pada peringkat ke tujuh. Dari sisi industri, Indonesia sejauh ini menjadi salah satu produsen dan pengekspor ke empat produk olahan kakao di dunia pada tahun 2023.
Selama periode 2015-2023, terjadi penurunan produksi kakao Indonesia sebesar 8,3% per tahun dan terjadi peningkatan impor dari 239.377 ton menjadi 276.683 ton. Pertumbuhan industri pengolahan kakao belum dibarengi dengan ketersediaan bahan baku yang menyebabkan 9 dari 20 perusahaan berhenti beroperasi. Industri pengolahan kakao saat ini harus mengimpor 62% bahan baku biji kakao.
Sementara itu, hilirisasi kelapa masih terbatas karena pemanfaatan bahan baku kelapa belum optimal dan saat ini masih ada kelapa bulat yang diekspor. Hal ini mengakibatkan utilisasi industri pengolahan kelapa masih sekitar 55%. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan global, sehingga masih terdapat ruang peningkatan hilirisasi kelapa yang sangat besar.
Diharapkan kelembagaan kakao dan kelapa akan memberikan dampak positif pada petani dan industri. Manfaat bagi petani meliputi peningkatan produktivitas melalui intensifikasi dan peremajaan lahan, peningkatan hasil olahan dan jaminan kepastian penyerapan panen. Sementara manfaat bagi industri berupa peningkatan nilai tambah dan ekspor serta diversifikasi pada produk turunan bernilai tambah tinggi.
Ubah Regulasi
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) sepakat dengan kebijakan pemerintah ini. Hanya saja pemerintah hendaknya merubah regulasi yang mengatur tentang BPDPKS. “Aturannya sebaiknya dirubah dulu jika hendak digunakan untuk komoditas lain. Terutama di PP dan Perpres yang mengatur tentang BPDPKS,” kata Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/7/2024).
Menurut Darto, dengan kebijakan tersebut tidak hanya sawit yang diperhatikan, tapi juga komoditas lain. Selama ini, kata dia, sawit selalu didukung sehingga cepat berkembang pesat, tetapi komoditas lain tertinggal.
“Selain itu, biar masyarakat ada pilihan ke depan, tidak hanya sawit tetapi juga komoditas-komoditas itu. Selama ini, banyak masyarakat membuka sawit karena komoditas ini ditunjang teknologi dan biaya dan penguatan SDM. Komoditas lain tidak. Akhirnya orang ramai-ramai buka sawit,” katanya.
Jika ada dukungan untuk komoditas lain, kata Darto, tentu masyarakat punya alternatif. Termasuk petani sawit, petani sawit bisa mengembangkan komoditas tambahan itu, sebagai pilihan lain biar tidak sawit saja dikelola tapi juga ada yang lain. “Harga sawit turun, bisa dibantu dengan komoditas itu,” ujarnya.
Namun demikian, kata Darto, perlu ada pungutan ekspor juga untuk komoditas kelapa dan kakao sehingga tidak menjadi beban di pungutan ekspor sawit. “Misalnya kakao dan kelapa itu ada yang diekspor. Maka harus ada pungutan yang sama juga untuk komoditas itu walaupun pungutannya tidak sebesar sawit.
“Pengusaha kakao akan senang kalau dibiayai oleh pungutan sawit, karena itu harus adil. Mereka itu juga ada untungnya. Pungut juga lah mereka,” katanya. (SDR)