JAKARTA – Setelah tertunda, pemerintah melalui Bulog akhirnya mulai menyalurkan cadangan beras pemerintah (CBP) ke masyarakat dan pasar. Ada dua saluran pelepasan. Pertama, bantuan pangan beras kepada 18,3 juta keluarga yang masing-masing menerima 10 kilogram (kg) pada Juni-Juli 2025. Bantuan ini mestinya disalurkan Juni lalu. Anggaran yang belum tersedia membuat penyaluran baru bisa dilakukan pada 12 Juli 2025.
Kedua, beras SPHP. Tahun ini target penyaluran, merujuk surat penugasan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) kepada Bulog pada 8 Juli 2025, sebesar 1,318 juta ton pada Juli-Desember 2025. Ditambah beras SPHP yang sudah disalurkan pada awal tahun ini, yakni 0,181 juta ton, total target mencapai 1,5 juta ton beras. Target ini lebih tinggi dari penyaluran SPHP tahun 2024 (1,4 juta ton) dan 2023 (1,196 juta ton).
Pelepasan CBP yang dikelola Bulog ke pasar menjadi angin segar bagi warga miskin dan rentan tatkala harga beras terus membubung tinggi. Bahkan, melampaui harga eceran tertinggi (HET). Beras medium lebih setahun nangkring di atas HET. Sejak Mei 2025, harga beras premium juga melampaui HET. Di semua zona: I, II, dan III. Jika HET adalah alarm bagi pemerintah untuk intervensi, sejatinya alarm sudah lama menyala.
Baca Juga: Pemerintah Perkuat Stok Beras Bulog hingga 2 Juta Ton
Merujuk konstitusi, baik UU Pangan No. 18/2012 maupun UU Perdagangan No. 7/2014, tugas pemerintah bukan hanya memastikan pasokan pangan (baca: beras) dalam jumlah cukup dan bisa diakses secara fisik, tapi juga terjangkau daya beli warga. Percuma ada stok beras di gudang Bulog lebih 4 juta ton tapi tidak bisa diakses warga. Stok itu berhasil memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Tapi apatah maslahat bagi publik luas? Perut rakyat perlu harga beras terjangkau, bukan rekor.
Bagi pemerintah urusan beras seharusnya menjadi soal ‘hidup-mati’. Karena, pertama, tingkat partisipasi konsumsi beras nyaris sempurna: 98,35%. Artinya, hampir seluruh warga negeri ini, dari Aceh hingga Serui, menyantap nasi sebagai makanan pokok. Kedua, beras berkontribusi 5,20% dari jumlah pengeluaran keluarga, bahkan mencapai 25,87% bagi warga miskin. Ketika harga beras naik, daya beli warga bakal terganggu.
Secara makro, kenaikan harga beras akan berdampak pada inflasi dan level kemiskinan, sedangkan secara mikro akan membuat kantong warga kian terkuras untuk membeli beras. Mereka yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan potensial menjadi kaum pariah baru. Merujuk kalkulasi Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, M Ikhsan, kenaikan 10% harga beras membuat kemiskinan naik 1,3%.
Merujuk data BPS, pada semester I-2025 harga beras di penggilingan naik 1,54%, di grosir 3,08%, dan di eceran 2,03%. Secara persentase tidak besar. Tapi di bulan-bulan tertentu kenaikannya tinggi. Atau di wilayah bukan produsen padi, seperti di Papua dan Maluku, persentase kenaikan harga amat tinggi. Lalu, lima dari enam bulan di semester I-2025 beras jadi penyumbang inflasi. Hingga pekan ketiga Juli 2025 beras naik di 205 kabupaten/kota, naik dari pekan sebelumnya (176 kabupaten/kota).
Baca Juga: Menteri BUMN Rombak Direksi Perum Bulog
Penyaluran bantuan pangan beras dan beras SPHP diharapkan dapat menanggulangi gejolak harga, menjaga pasokan di pasar dan menjaga daya beli warga, mengendalikan inflasi, dan pemanfaatan CBP agar tidak makin berumur. Per 30 Juni 2025 sebesar 1,81 juta ton dari 4,19 juta ton beras stok di BULOG (43,5%) berusia lebih empat bulan. Idealnya beras hanya disimpan 4 bulan. Lebih dari itu beras harus disalurkan. Kalau tidak, ada risiko turun volume, turun mutu, dan biaya pengelolaan yang membengkak.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, penyaluran beras SPHP tahun ini jauh lebih ketat. Tentu agar penyaluran sesuai tujuan. Bukan dioplos atau diselewengkan, seperti yang ramai menjadi perbincangan publik saat ini. Pengetatan, merujuk Keputusan Kepala Bapanas No. 215/2025, dimulai dari kemasan. Penyaluran SPHP tahun ini dalam kemasan retail: 5 kg. Kemasan 50 kg hanya untuk wilayah timur Indonesia: Maluku dan Papua.
SPHP menjangkau masyarakat melalui enam saluran. Empat di antaranya harus mendapatkan rekomendasi dinas ketahanan pangan/pemda. Yaitu toko pengecer di pasar tradisional, toko binaan pemda, koperasi desa/kelurahan merah putih, gerakan pangan murah (GPM) oleh dinas ketahanan pangan/pemda. Ditambah lagi toko milik BUMN dan instansi pemerintah (kementerian/lembaga, TNI/Polri melalui toko, koperasi atau GPM). Jejaring Rumah Pangan Kita mitra Bulog dan toko di luar pasar belum bisa ikut.
Sebelum menjadi mitra penyalur SPHP, pengecer dan pelbagai saluran itu harus mendaftar dan direkomendasi dinas ketahanan pangan dan unit pengelola teknis (UPT) pengelola pasar. Baru kemudian diajukan ke kantor pusat Bulog untuk mendapatkan persetujuan. Bila disetujui, mitra harus mengunduh aplikasi yang dikembangkan Bulog: Klik SPHP. Order beras SPHP hanya bisa dilakukan lewat aplikasi ini.
Baca Juga: Produksi Beras Tahun Ini Tak Sebaik yang Diharapkan
Belum cukup. Saat mitra menjual beras ke konsumen, warga mesti membawa KTP untuk keperluan foto dan diunggah di aplikasi tersebut. Bahkan, pengecer harus menandatangani surat pernyataan di atas materai berisi dua hal. Pertama, menjual secara jujur: maksimal sesuai HET, tidak membuka kemasan dan mencampur dengan beras lain, dan memastikan melego 2 kemasan 5 kg ke konsumen dan tak dijual kembali. Lalu, menyediakan informasi nama toko, alamat, harga jual, kemasan, dan layanan pengaduan.
Kedua, kalau melanggar ketentuan itu pengecer bersedia ditindak sesuai Pasal 62 UU Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Lalu, ketentuan Pasal 139 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dengan sanksi penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. Akibat persyaratan ini, sejumlah calon pengecer mundur teratur. Mereka khawatir tak bisa memastikan beras di konsumen tak dijual lagi.
Persyaratan super ketat seperti ini belum diberlakukan di tahun sebelumnya. Soal kemasan, misalnya, tahun lalu beras SPHP kemasan 50 kg bisa disalurkan melalui pengecer, juga lewat penggilingan dan pedagang pasar induk seperti di Pasar Induk Beras Cipinang. Hampir bisa dipastikan karena skema super ketat ini yang membuat penyaluran SPHP seret. Dari 12-26 Juli 2025 yang tersalur baru 2.591 ton beras.
Di sisi lain, harga beras terus naik. Merujuk data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga beras di Juli, misalnya, merambat ke atas setiap minggunya. Harga adalah indikator yang relatif jujur. Kalau harga terus naik itu pertanda pasokan beras di pasar terbatas. Beras SPHP yang diharapkan mengguyur pasar dalam jumlah besar, masif, dan menjangkau wilayah luas ternyata jauh dari harapan. Di tengah pasokan beras dari swasta yang mengempis, ini bikin waswas.
Saat ini penggilingan dan pedagang beras rerata tidak memiliki stok memadai. Sebagian dari mereka bahkan berhenti beroperasi. Menambah stok dengan menyerap gabah bisa saja dilakukan. Tapi dengan harga gabah Rp7.500-Rp7.800, bahkan lebih Rp8.000/kg, hampir bisa dipastikan tidak bisa menjual beras premium dengan HET Rp14.900/kg alias merugi. Kalau menjual di atas HET akan digaruk Satgas Pangan.
Dalam situasi seperti ini, pasokan beras ke pasar tergantung aliran stok Bulog. Masalahnya, dengan penyaluran SPHP yang seret menuntut otoritas untuk mencari skema lain yang memungkinkan aliran lebih lancar tanpa meninggalkan tata kelola yang baik. Tuntutan ini kian niscaya manakala stok beras di pasar kian tipis. Dengan stok beras Bulog 4,2 juta ton, fokus pemerintah saat ini mestinya menyalurkan. Bukan menyerap. Jangan sampai muncul pemeo: kalau (penyaluran) bisa dipersulit, mengapa dipermudah.
(Khudori – Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-2020), dan peminat masalah sosial-ekonomi pertanian dan globalisasi).