JAKARTA – Perbaikan tata kelola sawit rakyat harus menjadi bagian dari perencanaan desa, terutama desa yang berbasis pengembangan sawit. Peranan desa penting, agar kontribusi pengembangan sawit dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat desa serta mendukung nilai tambah sawit melalui perencanaan hilirisasi berbasis pada kelembagaan ekonomi di desa.
Hal itu dikatakan Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin saat menyampaikan makalahnya pada acara Workshop Pengembangan Potensi Desa Berbasis Sawit Tahun 2023 di Jakarta, Senin (17/11/2023). Workshop ini diselenggarakan Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Lebih lanjut Sabarudin mengatakan bahwa perbaikan tata kelola dan perencanaan hilirisasi sawit harus terintegrasi dengan program perencanaan pembangunan di desa. Misalnya implementasi rencana aksi untuk pemetaan dan pendataan sawit rakyat, pembentukan dan penguatan kelembagaan tani, dan penyelesaian legalitas termasuk kemudahan perizinan untuk pembangunan pabrik mini yang berbasis pengelolaannya oleh koperasi atau BUMDES.
“Dukungan pembiayaan selalu menjadi tantangan utama dalam pengembangan hilirisasi sawit rakyat. Karena itu perlu dukungan konkret dari pemerintah agar insentif pembiayaan yang efektif serta membangun roadmap dan target yang jelas untuk pembangunan hilirisasi sawit di desa,” tegas Sabarudin.
- Fachri, Direktur Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan, Kemendes PDTT mengatakan bahwa pengembangan sawit sebagai komoditi strategis menyisahkan banyak tantangan terutama pada pengembangan sawit swadaya, karena itu perbaikan tata kelola ke depan harus melibatkan desa, termasuk menjadikan Kelembagaan Ekonomi Desa/BUMDES/BUMDESMA sebagai aktor utama hilirisasi sawit, membangun dan memuliakan desa serta perolehan akses pendanaan bagi pengembangan kelapa sawit oleh masyarakat desa.
“Oleh karena itu, hari ini kami bekerjasama dengan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan didukung BPDPKS mengumpulkan desa-desa yang memiliki potensi sawit agar ke depan memiliki visi yang sama untuk hilirisasi sawit,” kata Fachri.
Dirinya berharap melalui kegiatan ini dapat terbentuk sebuah asosiasi desa berbasis potensi sehingga menjadi wadah pertukaran, pengalaman, pengetahuan sekaligus praktik baik bagi desa.
“Saat ini, desa itu sangat mewah marena memiliki uang melalui dana desa. Mereka (desa) bisa menyertakan modalnya ke badan usaha milik desa. Namun, akan lebih baik kalau kita bangun satu unit usaha yang berbasis potensi untuk mereka semua,” terangnya.
Sementara itu, Taufik Madjid, Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT mengatakan bahwa dukungan Kementerian Desa, PDTT dalam program hilirisasi sawit telah diatur dalam Permendes No. 8 Tahun 2022 tentang penggunaan dana desa tahun 2023, di mana untuk mendukung peningkatan ekonomi desa, BUMDes diberikan keleluasaan untuk mendapatkan modal kerja dari dana desa untuk pengembangan usahanya.
“Dukungan lainnya melalui regulasi Permendes No. 21 Tahun 2020 tentang panduan umum pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa, di mana perencanaan pembangunan desa dilakukan dengan mengacu pada data dan potensi sumberdaya alam setempat,” tegas Taufik Madjid.
Lebih lanjut, Taufik Madjid mengatakan bahwa untuk mendukung pengembangan potensi unggulan di desa, Kemendes PDTT telah memfasilitasi keberadaan Tenaga Pendamping Profesional/Pendamping Desa sesuai dengan Permendes No 19 Tahun 2020 dan Kepmendesa No 40 Tahun 2021 yang mengatur teknis pelaksanaan Pendampingan Masyarakat Desa.
Berdasarkan data Indeks Desa Membangun-Kemendes PDTT pada 2022 menunjukkan bahwa pengembangan sawit di Indonesia terkonsentrasi di 16.829 desa dari 75.265 desa di seluruh Indonesia. Dari data tersebut menunjukkan bahwa ekspansi sawit di Indonesia yang saat ini dengan tutupan seluas 16,38 juta hektare (ha) terkonsentrasi di wilayah desa.
Pengembangan sawit di wilayah desa dilakukan oleh perkebunan skala besar dan perkebunan rakyat yang dikelola secara mandiri/swadaya oleh petani (masyarakat) atau pola inti plasma.
Pengembangan sawit rakyat yang dikelola petani/masyarakat desa dengan luasan 6,72 juta ha (data Kementerian Pertanian), menunjukkan potensi yang sangat besar bagi peningkatan ekonomi masyarakat desa. Namun berdasarkan fakta, desa-desa yang mempunyai potensi kelapa sawit justru tertinggal dan masuk kategori desa miskin.
Hal ini didukung dengan kondisi bahwa tata kelola sawit minim bahkan terpisah dari peran dan kewenangan dari pemerintahan desa.
Dari hasil kajian tahun 2021 oleh SPKS ditemukan data bahwa desa-desa di Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Barat dan Riau tidak memasukan perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu potensi pengembangan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), sehingga desa sebagai entitas, akhirnya lepas tangan dengan persoalan-persoalan kelapa sawit. (SDR)