NUSA DUA – Kebijakan mandatori biodiesel sangat strategis dalam menjaga ketahanan energi nasional. Tak hanya itu, kebijakan ini juga diklaim menciptakan 2 juta lapangan kerja baru.
Hal itu diungkapkan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Eddy Abdurrahman saat menjadi pembicara di hari pertama 21st Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025 and 2026 Price Outlook yang digelar di Nusa Dua, Bali, Kamis (13/11/2025).
Eddy Abdurrahman memaparkan bahwa program biodiesel telah membawa Indonesia menjadi negara dengan pemanfaatan biofuel paling progresif. “Biodiesel bukan hanya energi alternatif, tetapi pilar stabilisasi harga sawit dan ketahanan energi Indonesia,” ujarnya.
Baca Juga: Produktivitas dan Hilirisasi Kunci Masa Depan Sawit Nasional
Dia menjelaskan bahwa konsumsi biodiesel meningkat pesat dari 119.000 kiloliter pada 2009 menjadi lebih dari 15,6 juta kiloliter pada 2025. Lonjakan ini terjadi seiring implementasi B10 hingga B35 dan persiapan B40 nasional. Program tersebut menyerap sebagian besar CPO untuk kebutuhan domestik.
Eddy Abdurrahman memaparkan bahwa kebijakan biodiesel menjaga harga tandan buah segar (TBS) pada kisaran Rp1.344–Rp2.932 per kg selama 2014–2024. Kebijakan ini menopang pendapatan lebih dari 2,5 juta petani sawit. “Stabilitas harga (TBS) merupakan penopang utama kesejahteraan pekebun,” katanya.
Ia juga menjelaskan dampak besar biodiesel terhadap ketahanan energi. Pada 2014, impor solar mencapai 86% kebutuhan nasional, namun turun menjadi sekitar 37% pada 2024. Penghematan devisa meningkat dari Rp12 triliun pada 2017 menjadi proyeksi Rp147 triliun pada 2025.
Baca Juga: EUDR Tak Sejalan dengan Prinsip Keberlanjutan Internasional
Menurut Eddy, program biodiesel juga memperluas penciptaan lapangan kerja. Dari 323.000 pekerja pada 2017, angkanya naik menjadi hampir dua juta pekerja pada 2025. “Sektor ini sebagai penggerak ekonomi nasional,” ujarnya.
Eddy Abdurrahman juga menyoroti beberapa tantangan utama dalam program mandatori biodiesel ini. Tantangan itu mencakup kesiapan teknis, logistik wilayah timur, serta tekanan fiskal ketika harga CPO lebih tinggi dari solar fosil. “Karena itulah perlu ada fleksibilitas pungutan, diversifikasi bahan baku, dan penguatan sertifikasi ISPO dan RSPO,” ungkapnya.
Ia menutup paparannya dengan pesan mengenai peran biodiesel dalam diplomasi global. “Program biodiesel adalah bukti bahwa energi hijau dan kesejahteraan petani dapat berjalan beriringan. BPDP berkomitmen menjaga keberlanjutan program ini untuk masa depan energi Indonesia,” ujar Eddy. (SDR)

