JAKARTA – Peremajaan sawit rakyat (PSR) atau replanting yang dimulai sejak 2017 hingga 2022 belum seperti yang diharapkan. Banyak kendala dari sisi persyaratan yang memberatkan peserta PSR.
Pada 2017 misalnya, realisasi PSR baru 13.337 ha atau terealisasi 64,18% dari 20.780 ha yang ditargetkan pemerintah. Selanjutnya di 2018 realisasi PSR meningkat menjadi 34.624 ha atau sekitar 18,72% dari yang ditargetkan sebesar 185.000 ha.
Capaian PSR di 2019 meningkat drastis di angka 88.343 ha (49,08%) walaupun masih di bawah yang ditargetkan sebesar 180.000 ha. Di 2020 naik lagi menjadi 91.433 ha (50,80%) dari yang ditargetkan 180.000 ha.
Tren kenaikan realisasi PSR ini tidak bisa dipertahankan mengingat di 2021 justru turun di angka 27.737 ha (15,41%) dari target 180.000 ha. Setahun kemudian turun lagi di angka 17.793 ha (17,79%) dari yang ditargetkan sebesar 100.000 ha. Tahun 2023 ini, pemerintah kembali menaikkan target PSR ke angka 180.000 ha dan hingga 14 Mei lalu telah terealisasi 15.377 ha (8,55%).
“Kita bersama memahami bahwa realisasi PSR masih sangat rendah sejak tahun 2017-2022 capaian kita sebesar 278.200 ha,” kata Dirjen Perkebunan Kementan Andi Nur Alam Syah.
Dengan 278.200 ha lahan sawit yang sudah tersentuh PSR, dari total 2,8 juta ha, artinya hanya 9,93% perkebunan rakyat yang berhasil diremajakan. Padahal, Presiden Joko Widodo menargetkan, untuk setiap tahunnya PSR menyasar 180.000 ha kebun sawit di 21 provinsi dan 123 kabupaten/kota sentra perkebunan kelapa sawit.
Banyak kendala dari sisi persyaratan yang dinilai memberatkan bagi peserta PSR. Kendala itu diakui Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman.
Salah satu alasan PSR di bawah target, menurut Eddy, karena persyaratan yang memberatkan para petani sawit. Maka dia pun berharap, syarat PSR lebih ringan agar petani bisa menjalankan program peremajaan sawit.
“Selama ini, persyaratan itu mencakup lahan sawit tidak berada di kawasan hutan, tidak berada di dalam kawasan usaha, dan legalitas lahannya terpenuhi. Itu yang menjadi persoalan,” ujar Eddy. (SDR)