JAKARTA – Peraturan Presiden (Perpres) No 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia mewajibkan setiap pekebun sawit untuk memiliki sertifikat pada 2025. Namun, banyak petani sawit yang kesulitan memenuhinya karena masalah legalitas lahan garapan.
Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) masih menjadi salah satu hal yang memberatkan bagi para produsen sawit di dalam negeri, baik pengusaha maupun petani sawit.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan hingga saat ini sertifikasi ISPO mencapai 4,21 juta hektare (ha) atau 786 sertifikat yang terdiri dari 3,94 juta ha milik perusahaan dan 270.809,15 ha perkebunan rakyat.
Ia menyebutkan, setidaknya ada 6 alasan penyebab rendahnya pencapaian sertifikasi ISPO untuk Perkebunan Rakyat.
Pertama, karena terkendala biaya sertifikasi. Kedua, tumpang tindih kebun sawit dengan kawasan hutan. Ketiga, Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) sebagai salah satu syarat untuk sertifikasi tidak tersedia, karena tidak semua pemda tersedia alokasi pendanaan sesuai kebutuhan.
“Kemudian, pengurusan perizinan lingkungan (izin line aplikasi atau LA, TPS Limbah B3, pembuangan limbah cair) memerlukan waktu lama dan biaya beragam,” katanya dalam acara Diskusi Publik Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit yang dilaksanakan di Gedung Ombudsman di Jakarta, Senin (27/5/2024).
Kelima, terkait untuk meningkatkan keberterimaan ISPO di pasal global, dilakukan penyempurnaan Perpres ISPO No.44/2022 dengan menambahkan sertifikasi hilir (end product dan bioenergy). “Namun hampir 2 tahun proses penyempurnaan perpres belum selesai,” katanya.
Keenam, karena Sekretariat ISPO yang berfungsi mendukung Komite ISPO dalam penyusunan kebijakan dan mengevaluasi pelaksanaan sertifikasi ISPO dinilai belum berjalan efektif, karena tidak didukung dengan pendanaan yang jelas.
“Permasalahan utamanya adalah ISPO ini butuh dana, untuk rakyat harus ada pendanaannya. Kemudian untuk Sekretariat ISPO, kami dengar juga tidak ada sama sekali dana di sana. Kita butuh benar-benar tata kelola yang tertata dengan baik agar tidak membingungkan pelaku usaha,” jelasnya.
Terkait ISPO, pihak Kementerian Perindustrian (Kemenperin) diwakili oleh Pembina Ahli Madya Direktorat Jenderal Industri Agro Laila Harsyah mengatakan pihaknya tengah melakukan rancangan penyempurnaan regulasi ISPO.
“Kita juga akan ditugaskan mengelola ketertelusuran keberlanjutan di produk sawit industri hilir dan rantai pasoknya dalam rancangan pengganti Perpres 44/2020, mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa diterbitkan,” katanya.
Rancangan ini berbentuk suatu platform digital yang akan mulai dari Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku hingga ke produk akhir untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. “Hal-hal ini kita kerjakan, kita bentuk sistem informasi berkelanjutan, agar bisa membentuk keberlanjutan dalam industri sawit nasional,” katanya. (ANG)