JAKARTA – Perdagangan karbon menjadi salah satu pilar untuk mendukung upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam mitigasi perubahan iklim. Namun realisasi perdagangan karbon di tanah air masih penuh tantangan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menjelaskan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan salah satu sumber pendanaan untuk mencapai target pengurangan emisi GRK Indonesia.
Untuk melaksanakan NEK, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah regulasi. “Meski demikian dalam implementasinya masih penuh tantangan,” katanya saat memberi sambutan pada International Webinar “Lesson Learned of the Utilization of Carbon Economic Value on Mitigation Action of Forest Management“, Selasa (7/11/2023).
Webinar tersebut diselenggarakan APHI dengan Business Finland, unit kerja pemerintah Finlandia untuk promosi dan investasi. Webinar ini merupakan rangkaian Rapat Kerja APHI 2023 yang akan diselenggarakan di Purwokerto pada 15-16 November 2023.
Dalam upaya pengurangan emisi GRK, Indonesia telah mendeklarasikan komitmen untuk mencapai FOLU Net Sink 2030. Berdasarkan komitmen tersebut, Indonesia menargetkan tingkat penyerapan GRK pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain (Forestry and Other Land Use/FOLU) jauh lebih tinggi atau setidaknya sama dengan emisinya pada 2030.
Pencapaian target tersebut membutuhkan pendanaan yang diperkirakan mencapai USD14 miliar. Sebesar 55% dari kebutuhan dana itu diharapkan datang dari investasi sektor swasta, salah satunya melalui NEK.
Untuk melaksanakan NEK, telah diterbitkan Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Selain itu juga telah diterbitkan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
Selain itu, pemerintah juga telah meresmikan Bursa Karbon sebagai tempat untuk perdagangan karbon kredit berupa Sertifikasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang telah terdaftar dalam Sistem Registri Nasional (SRN).
Menurut Indroyono, pembelajaran dan berbagi pengetahuan dari negara lain bagaimana aksi mitigasi perubahan iklim bisa menghasilkan kredit karbon diharapkan bisa menjawab menjawab tantangan dalam pelaksanaan perdagangan karbon di tanah air. “Webinar kali ini diharapkan bisa mendapatkan masukan dan pembelajaran atas isu tersebut,” katanya.
Saat ini ada sekitar 600 unit perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang mengelola sekitar 30 juta hektare kawasan hutan. Berdasarkan Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023, ada 22 aksi mitigasi yang bisa dilakukan perusahaan PBPH.
Di antaranya pengurangan laju deforestasi lahan mineral, lahan gambut serta mangrove; pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral, lahan gambut dan mangrove; pembangunan hutan tanaman; pengelolaan hutan lestari (melalui multiusaha kehutanan, reduce impact logging-carbon dan silvikultur intensif), serta rehabilitasi hutan dan lainnya.
Sekjen APHI Purwadi Soeprihanto menguraikan, salah satu tantangan yang dihadapi PBPH dalam mengimplementasikan NEK adalah tentang metodologi pengukuran kinerja pengurangan emisi GRK. Pasalnya metodologi yang sekarang digunakan dalam SRN masih belum sepenuhnya melingkupi aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030. “Perlu dilakukan percepatan untuk pengesahan metodologi yang bisa diaplikasikan pada PBPH sesuai dengan aksi mitigasi FOLU Net Sink 2023,” katanya.
Sementara itu Senior Advisor Business Finland, yang juga Konselor Kedutaan Besar Finlandia di Jakarta, Nina Jacoby mengatakan, perdagangan karbon sejatinya belum benar-benar siap di seluruh dunia. “Makanya peting bagi semua pihak untuk berkolaborasi dan melihat apa yang bisa dilakukan antara Indonesia-Finlandia bersama-sama,” katanya.
Beberapa pembelajaran yang ditawarkan oleh Finlandia adalah bagaimana membuat pemodelan karbon pada hutan yang bisa dapat dpertanggungjawabkan. Dalam webinar itu juga dipaparkan bagaimana peran hutan di Finlandia dalam aksi mitigasi perubahan iklim. (SDR)