JAKARTA – Rendahnya partisipasi petani swadaya dalam program sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) terus menjadi perhatian berbagai pihak. Menurut data i-Hi Consulting hingga Februari 2025 menunjukkan tingkat kepesertaan petani dalam program ini masih di bawah 1% dari total luas kebun sawit rakyat di Indonesia.
Menanggapi kondisi tersebut, Plt. Kepala Divisi Penyaluran Dana Sektor Hulu Perkebunan Kelapa Sawit II Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Dwi Nusantara menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya menyinergikan program ISPO dengan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Dwi menilai kedua program tersebut memiliki kesamaan dalam hal persyaratan administrasi. “Sehingga, dapat diupayakan dalam satu skema terintegrasi,” kata Dwi pada Lokakarya Nasional Percepatan Sertifikasi ISPO seperti dikutip bpdp.or.id di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Baca Juga: Kolaborasi Lintas Kementerian Kunci Sukses Implementasi ISPO
Menurut Dwi, dengan menyatukan proses pendampingan dan pendanaan, efektivitas implementasi program bisa lebih optimal. Ia juga mendorong agar pemerintah mempertimbangkan penyusunan skema insentif terpadu, di mana petani yang telah memiliki sertifikasi ISPO dapat langsung memperoleh akses terhadap berbagai dukungan, termasuk sarana dan prasarana (sarpras), bantuan pupuk, hingga program pendukung lainnya.
Menurutnya, jika status lahan petani sudah jelas dan bersertifikasi ISPO, maka tidak ada alasan untuk menunda pemberian dukungan tambahan. Ia mencontohkan bahwa bantuan alat berat seperti excavator seharusnya bisa masuk dalam bentuk insentif nyata, ketimbang hanya menjanjikan insentif harga premium yang belum pasti dari sisi pelaksanaannya.
Lebih lanjut, Dwi menjelaskan pendekatan berbasis insentif akan jauh lebih mendorong minat petani untuk mengikuti program sertifikasi ISPO, ketimbang menjadikan sertifikasi tersebut sebagai persyaratan wajib yang memberatkan.
Baca Juga: Percepat PSR, BPDP Dorong Kemitraan antara Perusahaan dengan Pekebun
Oleh karena itu, menurutnya, integrasi program PSR dan ISPO perlu didukung oleh regulasi yang jelas, khususnya dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, agar tidak ada petani yang tertinggal karena kendala administratif.
Ia juga menyoroti pentingnya peningkatan sosialisasi dan penyelarasan kebijakan lintas instansi. Menurut Dwi, banyak petani yang sebenarnya telah berupaya untuk berbenah, namun masih menghadapi hambatan dalam hal informasi dan teknis pengajuan program.
BPDP sendiri terus mendorong pendekatan kebijakan yang berfokus pada kemudahan akses, sinergi program, dan manfaat langsung di lapangan, agar sertifikasi ISPO dapat menjadi bagian dari solusi dalam meningkatkan daya saing dan kesejahteraan petani sawit rakyat di Indonesia. (REL)