JAKARTA – Pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya diharapkan mampu menciptakan produk sawit yang berdaya saing serta memperkuat posisinya sebagai komoditas strategis bagi pasar dalam dan luar negeri. Karena itulah dibutuhkan kebijakan proteksi maupun promosi bagi komoditas kelapa sawit.
“Kebijakan proteksi dapat dipilih pemerintah karena sawit seringkali dapat gangguan. Karena itulah banyak cara dapat dilakukan untuk melindungi sawit dengan cara aktif dan pasif,” kata Guru Besar IPB University Rachmat Pambudy saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema “Menjaga Keberlanjutan Industri Sawit dalam Pemerintahan Baru” yang diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Auditorium Gedung D Kementerian Pertanian (Kementan) Jakarta, Kamis (4/7/2024).
Rachmat Pambudy menjelaskan kebijakan proteksi dan promosi sawit perlu secara aktif dilakukan melalui dukungan pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sebab sawit dapat menjadi senjata untuk menyerang dan bertahan lantaran dapat dimanfaatkan sebagai produk makanan.
“Food as weapon, sawit itu dapat dipakai secara bijaksana untuk menyerang dan bertahan. Sawit ini luar biasa karena dapat menjadi senjata,” ujar Rachmat Pambudy.
Menurutnya, usulan pembentukan Badan Sawit Indonesia ini haruslah memiliki dasar yang kuat secara argumen dan data. Sebaiknya, pembentukan Badan Sawit Indonesia menjadi kebutuhan bersama pemangku kepentingan sawit.
“Jadi ini (badan sawit) harus menjadi kebutuhan bersama. Pak Prabowo adalah pemimpin yang sangat menghargai fungsi demokrasi. Demokrasi dilaksanakan dari aspirasi bawah sampai menjadi keputusan nasional. Aspirasi ini bukan hanya dari petani. Kita harus tahu pembentukannya berdasarkan apa? Apakah berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden? Ini perlu dasar hukumnya,” tambah Rachmat Pambudy.
Namun sekarang ini, kata Rachmat Pambudy, pihaknya belum bisa mewakili siapa-siapa kecuali sebagai Guru Besar dan selaku pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). “Saya merasa ini (badan sawit) menjadi kebutuhan dan bagian strategi menghasilkan produk unggulan yang berdaya saing,” urainya.
Pengurus Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fenny Sofyan pada acara yang sama menegaskan bahwa industri sawit bukan hanya penting di Indonesia saja, tetapi juga untuk global.
“Beberapa tahun lalu sawit menguasai sekitar 50% minyak nabati dunia, tapi sekarang bahkan mencapai 60% di 2023. Artinya dependensia dunia terhadap sawit sangat tinggi,” ujar Fenny.
Hal tersebut, ujar dia, karena minyak nabati kompetitor sawit yang sebelumnya membanjiri pasar juga mengalami penurunan produksi. Padahal, dalam beberapa waktu ke depan permintaan minyak nabati dunia bakal bertambah sebanyak 1 juta ton.
Dia mengingatkan alarm tersebut juga harus diantisipasi oleh Indonesia sebagai pengekspor sawit terbesar di dunia dengan tidak kurang 27 juta ton per tahun. Sebab, saat ini produktivitas sawit nasional mengalami stagnasi produksi, sementara kebutuhan dalam negeri terus meningkat.
“Jadi kita akan menghadapi Indonesia Emas 2045 yang produksi sawit ditargetkan 92 juta ton, tapi jujur saja itu susah untuk menembus itu. Harus ada komitmen bersama,” ujarnya.
Target 2045 tersebut adalah gencarnya hilirisasi, tapi menurut Fenny hulu adalah kunci. Tanpa hulu yang diperbaiki, produktivitas CPO nasional berdampak ke segala lini, mulai dari ekspor hingga subsidi biodiesel.
“Kemudian kalau ekspornya dikurangi, itu juga akan berpengaruh terhadap levy atau subsidi biodiesel. Makanya harus ada yang mengatur agar terjadi konsistensi dan presisten produksi ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, Fenny juga mengungkapkan bahwa sawit di Indonesia masih terus menghadapi kampanye negatif sawit. Salah satu yang bisa menangkal kampanye itu, menurut Fenny adalah menggencarkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Dia berharap, Pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya bisa menjadikan ISPO sebagai sertifikasi satu-satunya yang berlaku agar keberterimaan pasar terhadap sawit bisa terjadi.
“Keberterimaan sawit oleh masyarakat harus terjadi, makanya ISPO menjadi value edit bagi pelaku industri. Makanya dengan pemerintah selanjutnya kita berharap adanya advokasi mengenai hal ini. Nantinya saya berharap ada satu brand dengan hanya ISPO sebagai sertifikasi yang sustainable,” ujar Fenny.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menyebut, produktivitas sawit petani swadaya saat ini masih rendah. Di sisi lain, kebutuhan minyak sawit untuk energi di dalam negeri terus meningkat dengan adanya pengembangan biodiesel (solar campur minyak sawit).
Apalagi, pemerintah berencana terus melakukan pengembangan biodiesel hingga mencapai B50. Produktivitas kebun kelapa sawit yang rendah, kata Gulat, dapat mengancam pasokan untuk pemenuhan minyak sawit sebagai bahan baku energi maupun pangan. “Kalau ingin B50, kami khawatir Indonesia menjadi importir CPO 1,2 juta ton per tahun dengan kondisi produksi saat ini,” ujar Gulat.
Menurutnya, peremajaan sawit rakyat (PSR) harus menjadi prioritas. Lewat replanting, produktivitas kelapa sawit petani disebut dapat melonjak lebih tinggi. Namun, nyatanya program PSR masih jauh dari harapan.
Sejak diluncurkan pada 2017, kata Gulat, realisasi PSR saat ini hanya mencapai 323.000 hektare (ha) dari target 500.000 ha. Tumpang tindih kebijakan, dianggap menjadi faktor utama minimnya realisasi peremajaan sawit di kalangan petani swadaya.
Gulat pun menyinggung soal aturan kebun sawit di dalam kawasan hutan UU Cipta Kerja pasal 110B yang dianggap merugikan dan memperburuk produksi sawit nasional. Dia menyebut, ada sekitar 2,8 juta ha lahan sawit yang dianggap masuk dalam kawasan hutan tidak boleh dilakukan replanting akibat beleid tersebut.
Selain itu, Gulat juga merasa kecewa isi draf revisi Permentan Nomor 01 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Pasalnya, revisi ini dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap pekebun sawit mandiri atau pekebun sawit swadaya. Karena itu, Apkasindo minta penundaan revisi permentan tersebut hingga Pemerintahan Prabowo-Gibran resmi dilantik.
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementan Ardi Praptono menjelaskan dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas perkebunan sawit rakyat, Pemerintah terus berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit melalui program PSR dan Sarana dan Prasarana (Sarpras).
“Program PSR sangat penting karena berdampak langsung terhadap produktivitas. Sedangkan program Sarpras khususnya intensifikasi juga sebagai upaya peningkatan produktivitas tanaman sawit rakyat,” jelasnya.
Menurutnya, ada tiga langkah dapat dilakukan untuk percepatan program tersebut antara lain melakukan pendataan perkebunan kelapa sawit khususnya kebun kelapa sawit rakyat secara nasional, penyederhanaan regulasi yang menghambat capaian program, dan mendorong penambahan dana PSR. (SDR)