JAKARTA – Degummed Palm Mesocarp Oil (DPMO) merupakan teknologi pengolahan dalam industri kelapa sawit. Teknologi baru ini diklaim lebih menguntungkan dan menghasilkan emisi yang lebih sedikit.
Hal itu dikemukakan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga. Menurut Sahat, melalui metode ini, maka cara lama bakal ditinggalkan karena metode baru bakal menghasilkan lebih sedikit emisi dalam proses minyak nabati sawit.
“Selama ini pakai wet proses atau sterilisasi, ini menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Ini saya ubah sehingga terjadi dry process namanya, pasteurisasi emisi karbon rendah, saya usulkan dry process tandan buah segar jadi DPMO bukan CPO. DPMO kualitas lebih bagus jadi ngga ada namanya crude karena identik dengan jelek, karena sudah 100 tahun nggak ada perubahan,” kata Sahat di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Baca Juga: Teknologi Tinggi dan Adaptif Dukung Keberlanjutan Industri Sawit
Selain menghasilkan emisi lebih rendah, harga DPMO yang bakal dijual juga bakal lebih tinggi. Perbedaan harga antara DPMO ke CPO berkisar di USD10/ton. Alhasil harga tandan buah segar (TBS) yang dibeli dari petani juga otomatis akan naik.
Selain itu, petani juga berpotensi untuk mengolah hasil TBS-nya karena kapasitas teknologi ini jauh lebih kecil dibandingkan milik banyak perusahaan besar.
“Saya yang kembangin, jadi bisa digunakan banyak pihak. Saya nggak peduli gimananya yang penting saya ingin petani nggak lagi bergantung ke perusahaan besar atau selama ini disebut pabrik kelapa sawit (PKS) yang kapasitasnya ini biasa gede-gede 30, 60, 90 ton per jam. Tapi nantinya bisa lewat pamer atau pabrik minyak sawit emisi karbon rendah kapasitasnya cuma 5, 10, 20 ton, kenapa kecil? Karena saya mau taruh di petani, ongkos murah, jarak dekat,” kata Sahat.
Di sisi lain, untuk memproduksi CPO, petani harus rela merogoh kocek besar untuk bisa mengirim TBS-nya ke banyak pabrikan sawit. Pasalnya jarak antara kebun dan pabrikan sawit cukup jauh, mencapai puluhan kilometer.
Baca Juga: CPO Cerita Lama, RI Mesti Kembangkan DPMO
“Sekarang mereka ada yang 60 km ada 80 km ada 50 km, rata-rata saya itung 60 km. Ongkosnya Rp8/kg/km berarti Rp480 untuk ongkos setiap kg. Nah ini cuma 15 x 8 bayangkan 5-6x lipat itu, yang saya usulkan, tapi pemerintah nggak tau kenapa jadi belum didukung,” kata Sahat.
Upaya Sahat dalam mengembangkan teknologi DPMO ini menarik perhatian peneliti Finlandia yakni Senior Research Fellow University of Turku Finlandia, Erja Kettunen-Matilainen. Erja mengungkapkan bakal meneliti pengembangan sawit di Indonesia, termasuk pengembangan teknologi yang dilakukan oleh pelaku sawit di Indonesia.
“Menurut saya itu sangat inovatif dan seberapa banyak dia tahu tentang sejarah dan teknologi, tentang kimia dan semuanya. Semuanya pada dasarnya digabungkan. Dan, berdasarkan itu, dia menciptakan semacam model bisnis juga tentang bagaimana itu harus disusun secara terstruktur dan siapa yang harus terlibat dan seterusnya. Jadi saya pikir itu benar-benar membuat saya kagum dan membuka mata saya. Jadi, pada dasarnya itu sangat positif,” kata Erja. (ANG)